ADAB DAN MANFAAT MENUNTUT ILMU
Bercita-cita Tinggi dalam Menuntut Ilmu
Di antara akhlak Islam adalah berhias diri
dengan cita-cita tinggi, yang menjadi titik sentral alam dirimu, baik untuk
maju ataupun mundur, juga yang mengawasi gerak-gerik badanmu. Cita-cita yang
tinggi bisa mendatangkan kebaikan yang tiada terputus dengan izin Allah, agar
engkau bisa mencapai derajat yang sempurna, sehingga cita-cita itu akan
mengalirkan darah kesatriaan dalam urat nadimu dan mengayunkan langkah untuk
menjalani dunia ilmu dan amal. Orang lain tidak akan pernah melihatmu kecuali
berada di tempat yang mulia, engkau tidak akan membentangkan tangan kecuali
untuk menyelesaikan perkara-perkara yang penting.
Ini adalah perkara yang penting bagi para pelajar dalam menuntut
ilmu, yaitu hendaklah dia mempunyai tujuan dalam belajarnya, bukan sekadar
menghabiskan waktu di bangku sekolah, tetapi hendaklah seorang pelajar itu
mempunyai cita-cita. Dan di antara cita-cita yang paling mulia adalah agar
dengan ilmunya ia menjadi imam yang memimpin umat Islam di bidang ilmu
pengetahuan, dan dia harus merasa bahwa dia bisa mencapainya sedikit demi
sedikit sampai bisa mencapai cita-citanya. Kalau seorang pelajar melakukannya,
dia akan menjadi perantara antara Allah dengan hamba-Nya dalam menyampaikan
syariat Islam ini, yang akan membawanya untuk mengikuti Al-Qur'an dan As-Sunnah
dengan berpaling dari semua pendapat akal manusia, kecuali kalau bisa
membantunya dalam mencapai kebenaran, seperti yang diucapkan oleh para ulama,
yang itu merupakan sebuah ilmu yang bisa menjadi pintu bagi kita untuk
mengetahui kebenaran. Karena, kalau tanpa ucapan-ucapan mereka, kita tidak akan
mampu mengambil hukum langsung dari nash-nash yang ada, atau untuk mengetahui
mana yang rajih (pendapat yang kuat) dan mana yang marjuh (pendapat yang lemah)
atau yang semisalnya.
Cita-cita yang tinggi akan menghindarkanmu
dari angan-angan dan perbuatan yang rendah dan akan memangkas habis batang
kehinaan darimu seperti sikap suka menjilat dan basa-basi. Orang yang mempunyai
cita-cita yang tinggi akan tegar, dia tidak akan gentar menghadapi masa-masa
sulit. Sebaliknya, orang yang bercita-cita rendah akan menjadi penakut,
pengecut, dan terbungkam mulutnya hanya oleh sedikit kelelahan.
Namun, jangan salah persepsi, jangan
campuradukkan antara cita-cita yang tinggi dengan kesombongan. Karena, antara
keduanya terdapat perbedaan yang sangat tajam, seperti perbedaan antara langit
dan bumi. Cita-cita yang tinggi adalah perhiasan para ulama pewaris nabi,
sedangkan kesombongan adalah penyakit orang-orang yang sakit dari kalangan para
diktator yang sebenarnya miskin hati.
Wahai para pelajar, canangkanlah pada
dirimu cita-cita yang tinggi, jangan berpaling darinya. Syariat kita telah
memberi isyarat akan hal itu pada banyak masalah fiqih yang engkau jalani
setiap hari, agar engkau selalu siap mendapatkannya. Misalnya, dibolehkannya
tayamum bagi mukallaf tatkala tidak ada air, dan dia tidak diharuskan menerima
hadiah sehingga air wudhu dari orang lain karena itu akan membuat orang lain
merasa berjasa padamu. Yang itu akan merendahkan martabatmu. Dan perhatikanlah
contoh-contoh lain yang seperti ini. Wallaahu a'lam.
Termasuk cita-cita yang tinggi adalah
jangan sampai engkau mengharap milik orang lain. Karena, jika engkau menginginkan
kepunyaan orang lain, lalu mereka memberikannya kepadamu, maka mereka akan
memilikimu, karena perbuatan itu sebenarnya akan mengikatmu. Seandainya ada
seseorang yang memberimu satu keping uang, maka tangannya akan lebih tinggi
daripada tanganmu, sebagaimana digambarkan dalam sebuah hadits: "Tangan yang di aas lebih baik
daripada tangan yang di bawah." (HR
Bukhari dan Muslim).
Tangan yang di atas adalah yang memberi,
sedangkan tangan yang di bawah adalah yang diberi. Jangan arahkan pandanganmu,
juga jangan ulurkan tanganmu untuk meminta kepunyaan orang lain. Sampai-sampai
kalau ada orang yang tidak memiliki air (untuk wudhu) lalu ada yang memberinya,
maka dia tidak harus menerimanya, tetapi dia boleh bertayamum. Hal ini untuk
menghindari jangan sampai dia berhutang budi kepada orang lain. Padahal, wudhu
dengan air itu hanya wajib bagi yang mampu mendapatkan air saja. Oleh karena
itu, para ulama membedakan antara orang yang mendapatkan orang yang menjual air
dengan yang memberinya air, mereka mengatakan, "Kalau ada yang menjual air
kepadamu, maka kamu wajib membelinya, karena kalau kamu membelinya, maka itu
tidak berakibat engkau berhutang budi kepadanya, karena engkau telah memberi
harganya, namun jika ada yang memberimu, maka engkau tidak wajib menerimanya,
karena engkau akan berutang budi kepadanya, yang akan mengikat dirimu. Akan
tetapi, jika yang memberimu air itu tidak meminta balas budi, bahkan mungkin
dia berterima kasih kepadamu karena engkau mau menerima pemberiannya, atau
karena yang memberimu adalah orang tertentu yang biasanya tidak harus membalas
budi dalam pemberiannya, seperti saudara kepada saudaranya, maka hukum itu
tidak berlaku karena sebabnya sudah hilang. Yang penting di sini bahwa termasuk
cita-cita yang tinggi adalah jangan sampai engkau menginginkan kepunyaan orang
lain.
Antusias dalam Menuntut Ilmu
Jika engkau tahu sebuah kalimat yang
iucapkan oleh Khalifah Ali bin Abu Thalib: "Nilai setiap orang tergantung
pada apa yang dia kuasai." (Lihat Faidhul
Qadiir [IV/110]). Ada yang
mengatakan: "Tidaklah ada satu kalimat pun yang lebih bisa memberikan
semangat bagi penuntut ilmu daripada kalimat ini." Maka, waspadalah
terhadap kesalahan orang yang berkata: "Generasi awal tidaklah
meninggalkan apa pun untuk yang sesudahnya," akan tetapi lafazh yang benar
adalah: "Berapa banyak yang ditinggalkan oleh generasi pertama untuk
generasi berikutnya." Maka, kewajibanmu adalah memperbanyak belajar Sunnah
Nabawiyah, dan curahkan kemampuanmu dalam menuntut, menimba, serta meneliti
ilmu. Karena, setinggi apa pun ilmumu, engkau harus tetap ingat bahwa:
"Berapa banyak yang masih ditinggalkan oleh generasi pertama untuk
generasi selanjutnya."
Seseorang yang menguasai ilmu fiqih dan
ilmu syariat niscaya akan mempunyai nilai lebih daripada orang yang mahir dalam
memperbaiki kabel yang rusak atau lainnya. Hal ini karena keduanya sama-sama
menguasai sebuah bidang tertentu, hanya saja ada bedanya antara yang pandai
dalam ilmu agama dengan yang pandai dalam ilmu dunia. Dari sini kita ketahui bahwa nilai setiap orang adalah tergantung dari apa
yang dia kuasai. Telah disebutkan di atas bahwa "tidak ada ucapan yang
lebih bisa memberi semangat bagi penuntut ilmu daripada ucapan ini." Perkataan
yang diambil oleh Syaikh tersebut tidaklah benar, karena kalimat yang paling
bisa memberikan semangat belajar para penuntut ilmu adalah firman Allah (yang
artinya), ".... Katakanlah: 'Adaklah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang
yang tidak mengetahui ...." (Az-Zumar: 9). Juga, firman-Nya, "... niscaya Allah akan meninggikan
orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu
pengetahuan beberapa derajat ...." (Al-Mujaadilah:
11). Dan, sabda Nabi saw., "Barang
siapa yang dikehendaki oleh Allah mendapatkan kebaikan, maka Allah akan
memahamkan dia dalam urusan agama." (HR
Bukhari dan Muslim). Dan, sabda beliau pula, "Ulama
adalah pewaris para nabi." (HR
Abu Dawud, Tirmidzi, Ahmad, dan Ad-Darimi). Dan, nash lainnya yang menganjurkan
untuk menuntut ilmu. Tidak disangsikan lagi bahwa yang dikatakan oleh Ali bin
Abu Thalib adalah sebuah kalimat yang mengandung makna yang luas, hanya saja
itu bukan perkataan yang terbaik dalam hal anjuran menuntut ilmu.
Ucapan Syaikh: "Perbanyaklah
...," maksudnya adalah sebuah anjuran agar engkau memperbanyak mendapatkan
warisan Rasulullah saw. yang berupa ilmu. Karena, para nabi tidaklah mewariskan
dinar dan dirham, tetapi mereka mewariskan ilmu. Barang siapa yang
mengambilnya, sungguh dia telah mengambil bagian yang sangat banyak dari
warisan tersebut.
Kemudian, ketahuilah bahwasannya warisan
Rasulullah ada yang berupa Al-Qur'an dan ada yang berupa As-Sunnah. Apabila
warisan itu berupa Al-Qur'an, engkau tidak perlu lagi melihat sanadnya, karena
Al-Qur'an sampai kepada kita dengan jalan yang mutawatir. Adapun jika berupa As-Sunnah,
maka yang harus engkau lihat pertama kali adalah apakah Sunnah itu shahih dari
Rasulullah atau tidak.
Perkataan Syaikh selanjutnya:
"Curahkan kemampuanmu," maksudnya adalah kemampuan dalam meneliti. Karena,
ada sebagian orang yang hanya mengambil zhahir dan umumnya nash tanpa meneliti
lagi apakah zhahirnya nash itu yang dimaksud oleh hadits ini ataukah tidak,
apakah keumuman nash itu dikhususkan atau tidak. Orang yang tidak menelitinya
akan mempertentangkan antara satu hadits dengan yang lainnya, karena dia tidak
mempunyai ilmu tentang masalah ini. Ini banyak terjadi di kalangan pelajar yang
masih muda, yang banyak perhatian terhadap Sunnah Rasulullah saw. Biasanya
salah seorang di antara mereka dengan cepatnya mengambil hukum dari hadits
tersebut, atau dengan cepatnya dia menghukumi pada sebuah hadits. Ini adalah
sebuah bahaya yang sangat besar.
Perkataan Syaikh: "Setinggi apa pun
ilmumu tetaplah ingat bahwa masih sangat banyak yang ditinggalkan oleh generasi
pertama untuk generasi berikutnya." Ini sebuah perkataan yang bagus, namun
ada yang lebih bagus dari itu, yaitu kita katakan, "Setinggi apa pun
ilmumu, tetaplah ingat firman Allah: 'Dan
di atas tiap-tiap orang yang berpengetahuan itu ada lagi yang Mahamengetahui.' (Yusuf: 76). 'Dan tidaklah kamu diberi
pengetahuan melainkan sedikit'."
Dalam biografi Ahmad Ibnu Abdul Jalil yang
tertulis dalam Tarikh Baghdad oleh Al-Khatib al-Baghdadi, beliau
menyebutkan seuntai syair:
"Tidaklah orang mulia itu seperti orang hina
dan tidak pula orang yang cerdik itu semacam orang yang bodoh.
Nilai seseorang itu setiap kali dia bisa menguasai sesuatu dengan baik.
Inilah yang diputuskan oleh Imam Ali bin Abu Thalib."
"Tidaklah orang mulia itu seperti orang hina
dan tidak pula orang yang cerdik itu semacam orang yang bodoh.
Nilai seseorang itu setiap kali dia bisa menguasai sesuatu dengan baik.
Inilah yang diputuskan oleh Imam Ali bin Abu Thalib."
Meninggalkan Kampung Halaman untuk Menuntut
Ilmu
Barang siapa yang tidak pernah pergi untuk
menuntut ilmu, maka dia tidak akan didatangi untuk ditimba ilmunya. Barang
siapa yang tidak pernah pergi dalam masa belajarnya untuk mencari guru serta
menimba ilmu dari mereka, maka dia tidak akan didatangi untuk belajar darinya. Karena,
para ulama dahulu yang telah melewati masa belajar dan mengajar mempunyai
banyak tulisan, karangan-karangan ilmiah, dan pengalaman-pengalaman yang sulit
ditemukan di dalam kitab.
Maksud perkataan Syaikh di atas: bahwa
orang yang tidak pernah bepergian untuk menuntut ilmu, maka tidak perlu
didatangi (untuk ditimba ilmunya).
Dan jauhilah cara belajarnya orang-orang
shufi, yang hanya duduk di tempat. Mereka lebih mengutamakan ilmu khark (ilmu
yang diambil langsung dengan cara menembus hijab antara dia dengan Allah, ini
dalam persangkaan mereka, yang biasa dinamakan dengan ilmu laduni, pent.)
daripada ilmu yang diambil dari lembaran-lembaran kitab. Pernah dikatakan
kepada sebagian orang di antara mereka: "Mengapa engkau tidak berangkat
untuk mendengarkan hadits dari 'Abdurrazzaq? Maka dia menjawab: "Apa
gunanya mendengarkan hadits dari 'Abdurrazzaq bagi orang yang bisa mendengar
secara langsung dari Allah Ta'ala." Ada lagi yang mengatakan:
Jika orang-orang itu berbicara kepadaku dengan ilmu yang diambil dari lembaran kitab.
Maka saya menandingi mereka dengan ilmu yang diambil langsung dari Allah Ta'ala."
Oleh karena itu, jauhilah mereka. Karena, mereka tidak pernah menolong Islam dan tidak pernah melawan orang-orang kafir. Bahkan, di antara mereka ada yang menjadi bencana dan bumerang bagi agama Islam.
Jika orang-orang itu berbicara kepadaku dengan ilmu yang diambil dari lembaran kitab.
Maka saya menandingi mereka dengan ilmu yang diambil langsung dari Allah Ta'ala."
Oleh karena itu, jauhilah mereka. Karena, mereka tidak pernah menolong Islam dan tidak pernah melawan orang-orang kafir. Bahkan, di antara mereka ada yang menjadi bencana dan bumerang bagi agama Islam.
Orang-orang shufi mengaku bahwasannya Allah
langsung berbicara dengan mereka dan memberikan wahyu kepada mereka, serta
mengaku bahwasannya Allah SWT mengunjungi mereka demikian juga sebaliknya. Ini
adalah salah satu kepercayaan khurafat mereka.
Ungkapan Syaikh yang terakhir diambil dari
ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah tentang ahli kalam, beliau berkata:
"Orang-orang ahli kalam itu tidak pernah menolong Islam, juga tidak pernah
menghancurkan ahli falsafah." Maksudnya, ahli kalam itu tidak pernah
membela agama Islam yang dibawa oleh Muhammad saw., mereka pun tidak pernah
melawan ahli falsafah yang menjelek-jelekkan agama Islam. Bukti akan hal ini
bahwasannya ahli kalam itu mengubah beberapa nash dari zhahirnya, mereka
menakwilkannya kepada makna lain atau membuat makna yang baru. Mereka mengaku
bahwasannya hal itu didasari pada akal yang sehat. Ahli falsafah pun mengatakan
kepada mereka: "Kalian menakwilkan ayat dan hadits tentang sifat Allah
Ta'ala, padahal keduanya sangat jelas, kalau begitu biarkanlah kami menakwilkan
ayat-ayat tentang hari kebangkitan, karena ayat-ayat yang berhubungan dengan
asma dan sifat Allah jauh lebih banyak daripada yang menjelaskan tentang hari
kebangkitan. Maka, jika kalian boleh menakwilkan nama dan sifat Allah yang
terdapat dalam Al-Kitab dan As-Sunnah, maka biarkanlah kami menakwilkan
ayat-ayat tentang hari kebangkitan, bahkan biarkan juga kami mengingkari hari
kebangkitan secara total." Tidak diragukan lagi bahwa ini adalah sebuah
hujjah yang sangat kuat bagi ahli falsafah (ahli filsafat, red.) terhadap ahli
kalam, karena memang tidak ada perbedaan di antara keduanya.
Syaikh telah menyerang orang-orang shufi,
dan mereka memang pantas untuk diperlakukan seperti itu. Karena, sebagian orang
shufi ada yang sampai batas kekufuran dan pengingkaran terhadap Allah. Sampai
ada di antara mereka yang meyakini bahwasannya dirinya adalah Allah. Salah
seorang di antara mereka mengatakan: "Tidaklah yang berada di dalam
pakaian ini kecuali Allah," maksudnya adalah dirinya sendiri. Ada lagi
yang berkata:
"Tuhan itu adalah hamba dan hamba itu adalah tuhan.
Duhai sekiranya aku tahu siapakah yang harus diberi beban kewajiban."
"Tuhan itu adalah hamba dan hamba itu adalah tuhan.
Duhai sekiranya aku tahu siapakah yang harus diberi beban kewajiban."
Maksudnya, tidak ada perbedaan antara
keduanya. Dan, masih banyak lagi khurafat yang mereka ucapkan, namun kita juga
seharusnya mengonsentrasikan serangan kepada ahli kalam yang merampas
kesempurnaan Allah dengan ucapan-ucapan serta mengingkari sifat-Nya atas dasar
akal mereka.
Para ulama yang berbicara tentang masalah
pergi belajar belum menjumpai perkembangan teknologi yang ada saat ini. Saat
ini kaset rekaman bisa dijadikan sebagai ganti dari pergi menuntut ilmu,
meskipun pergi menuntut ilmu tetap lebih besar faidahnya. Karena, kalau engkau
pergi kepada seorang alim, maka dia akan memperoleh ilmu, adab, dan akhlaknya.
Juga, kalau engkau langsung melihatnya saat berbicara, engkau akan dapat lebih
mudah terpengaruh dengannya.
Menjaga Ilmu dengan Mencatatnya
Curahkan kemampuanmu untuk menjaga ilmu
dengan mencatatnya, karena dengan mencatat akan aman dari hilangnya ilmu itu,
juga bisa mempersingkat waktu kalau ingin membahasnya saat dibutuhkan, terutama
beberapa masalah ilmiah yang terdapat bukan pada tempat yang selayaknya. Dan di
antara faidahnya yang paling besar adalah saat sudah berusia lanjut dan
kekuatan badan sudah melemah, maka engkau masih mempunyai ilmu yang masih bisa
ditulis tanpa harus membahas dan menelaahnya kembali.
Betapa banyak masalah-masalah penting
tetapi tidak tercatat dengan alasan bahwa insya Allah saya tidak akan lupa. Tetapi,
ternyata akhirnya dia pun lupa. Maka, dia berangan-angan seandainya dulu
mencatatnya.
Oleh karena itu, catatlah ilmu, terutama
faidah-faidah penting yang terdapat bukan pada tempat yang sewajarnya, juga
mutiara-mutiara ilmu yang mungkin engkau lihat dan dengar yang engkau khawatir
akan hilang serta hal lainnya, karena hafalan itu bisa melemah dan orang bisa
saja lupa.
Berkata Imam Asy-Sya'bi, "Apabila
engkau mendengar sesuatu, maka catatlah meskipun di dining." (Diriwayatkan
oleh Khaitsamah). Apabila sudah terkumpul pada dirimu catatan tersebut, maka
urutkanlah dalam kitab atau buku saku sesuai dengan judulnya, karena itu akan
sangat membantumu pada saat-saat mendesak, yang para ulama besar pun terkadang
sulit untuk mendapatkannya.
Menjaga Ilmu dengan Mengamalkannya
Jagalah ilmumu dengan cara mengamalkan dan
mengikuti Sunnah Rasulullah saw. Al-Khatib al-Baghdadi berkata, "Seseorang
yang mempelajari hadits wajib untuk mengikhlaskan niatnya dalam belajar dan
bertujuan mencari wajah (ridha) Allah, dan janganlah ia jadikan ilmu itu
sebagai sarana untuk mencapai kedudukan yang tinggi, jangan pula digunakan
untuk mencari jabatan, karena telah daang ancaman bagi orang yang menjual
ilmunya untuk mendapatkan keuntungan duniawi.
Telah datang ancaman bagi orang yang
menuntut ilmu namun tidak ikhlas karena Allah, yaitu dia tidak akan mendapatkan
bau surga, sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Khatib al-Baghdadi, bahwa
seharusnya seorang penuntut ilmu itu mengikhlaskan niatnya, yaitu berniat
melaksanakan perintah Allah dan mencari pahala dalam belajarnya, menjaga dan
membela syariat Allah, dan bertujuan menghilangkan kebodohan dari dirinya
sendiri, juga orang lain. Semua itu menunjukkan
adanya keikhlasan, bukan bertujuan mendapatkan kehormatan, kemuliaan, martabat,
dan jabatan.
Jika ada yang bertanya, "Setiap orang
yang belajar di perguruan tinggi pasti bertujuan mendapatkan ijazah, yang
karena itulah banyak kita lihat sebagian mereka menempuh cara-cara kotor demi
memperoleh ijazah tersebut, misalnya ijazah palsu dan semisalnya." Kita
jawab, "Bukankah mungkin saja orang itu belajar di perguruan tinggi dengan
niat yang ikhlas, dia bertujuan untuk memberikan manfaat bagi sesama, karena
pada zaman ini orang yang tidak mempunyai ijazah tidak akan bisa menjadi guru
atau yang sejenisnya dari lembaga-lembaga yang membutuhkan ijazah.
Dan, jika ada yang mengatakan, "Saya
ingin mendapatkan ijazah agar bisa mengajar di perguruan tinggi, karena tanpa
ijazah saya tidak mungkin bisa mengajar di perguruan tinggi." Atau, kalau
ada yang berkata, "Saya ingin memperoleh ijazah agar saya bisa menjadi
seorang dai, karena pada zaman ini seseorang tidak mungkin bisa menjadi dai
kecuali kalau memiliki ijazah." Kalau memang niatnya semacam ini, maka
insya Allah itu adalah niat yang baik, yang tidak akan merusak belajar ilmu
syar'i. Adapun kalau urusan ilmu duniawi, maka terserah engkau berniat apa saja
selama masih dihalalkan oleh Allah. Seandainya ada orang yang belajar ilmu
teknik dan berkata, "Saya ingin menjadi insinyur agar nanti gajiku sebesar
sepuluh ribu real." Apakah ini haram? Tidak! Karena, itu ilmu duniawi,
semacam pedagang yang berniat agar mendapatkan untuk yang banyak.
Hindarilah sikap berbangga dan
menyombongkan diri, juga jangan sampai tujuanmu dalam belajar hadits adalah
untuk mencari jabatan, memperbanyak pengikut, serta mendirikan majelis ilmu. Karena,
kebanyakan penyakit yang merasuki para ulama adalah dari sisi ini.
Jadikanlah hafalanmu terhadap hadits
Rasulullah sebagai hafalan ri'ayah (menjaga ajaran agama), bukan sekadar
menghafal untuk meriwayatkannya, karena perawi ilmu itu banyak, namun yang
mampu menjaga dan mengamalkannya itu hanya sedikit. Dan betapa banyak orang
yang datang untuk belajar tetapi seperti orang yang tidak datang, juga betapa
banyak orang yang berilmu seerti orang bodoh dan orang yang menghafal hadits
namun sama sekali tidak memahaminya, apabila di dalam menyampaikan ilmunya,
menyampaikan hukumnya seperti orang yang kehilangan ilmu dan pengetahuannya.
Maksud menjaga ri'ayah adalah memahami
makna hadits, mengamalkan, lalu menjelaskannya kepada orang lain. Sebenarnya
tujuan dari belajar Al-Qur'an dan As-Sunnah itu untuk memahami maknanya,
sehingga bisa mengamalkan serta mendakwahkannya, namun Allah SWT menjadikan
manusia itu bermacam-macam. Ada di antara mereka yang hanya bisa meriwayatkan
namun tidak tahu maknanya, kecuali makna yang sangat jelas yang tidak butuh
dijelaskan lagi, namun hafalannya sangat kuat. Ada lagi orang yang diberi
karunia mudah memahami tetapi lemah dalam hafalan. Namun, ada sebagian manusia
yang memiliki keduanya, yaitu kekuatan hafalan dan kefahaman, namun ini sangat
jarang.
Rasulullah telah menggambarkan tentang
orang-orang yang diberi oleh Allah SWT ilmu sebagai air hujan yang menyirami
bumi, maka bumi yang terkena air hujan itu ada tiga macam. (HR Bukhari dan
Muslim)
Pertama, tanah tandus yang menelan air namun tidak bisa menumbuhkan rerumputan. Ini permisalan bagi orang yang sama sekali tidak memperhatikan ilmu. Dia tidak mengambil manfaat, baik untuk dirinya maupun orang lain.
Pertama, tanah tandus yang menelan air namun tidak bisa menumbuhkan rerumputan. Ini permisalan bagi orang yang sama sekali tidak memperhatikan ilmu. Dia tidak mengambil manfaat, baik untuk dirinya maupun orang lain.
Kedua, tanah yang bisa menyerap air namun tidak bisa menumbuhkan tanaman. Ini
permisalan bagi orang yang memperhatikan ilmu, seperti para perawi hadits,
mereka mampu menahan air sehingga orang lain bisa minum dan mengairi sawah
untuk menanam, namun mereka sendiri tidak bisa melakukan apa-apa kecuali sekadar
menghafalkannya.
Ketiga, tanah subur yang mampu menyerap air dan menumbuhkan tanaman. Ini
permislaan bagi orang yang diberi oleh Allah ilmu dan kefahaman. Mereka bisa
memberi manfaat bagi diri dan orang lain.
Maka, seharusnya seseorang yang belajar ilmu
agama bersikap berbeda dengan kebiasaan orang-orang awam, dengan cara mengikuti
sunnah Rasulullah sebisanya serta mempraktikkan sunnah pada dirinya,
sebagaimana firman Allah, "Sesungguhnya
telah ada pada (diri) Rasulullah itu suriteladan yang baik bagimu ...." (Al-Ahzaab: 21).
Firman-Nya yang lain, "Ikutilah aku, iscaya Allah
mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." (Ali Imran: 31).
Menjaga Hafalan
Jagalah ilmumu dari waktu ke waktu, karena
kalau tidak dijaga maka akan hilang meski bagaimanapun hebatnya ilmu itu.
Dari Abdullah bin Umar bahwasannya
Rasulullah saw. bersabda, "Sesungguhnya
permisalan orang yang menghafal Al-Qur'an semacm pemilik unta yang ditambatkan,
kalau dia menjaganya (mengikatnya), maka dia tidak akan pergi, namun jika
dilepas, maka dia akan pergi." (HR
Bukhari, Muslim, dan Malik dalam Al-Muwaththa').
Berkata Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr r.a.,
"Hadits ini menunjukkan bahwa siapa pun yang tidak menjaga ilmunya,
niscaya ilmu itu akan hilang, karena ilmu mereka pada saat itu hanyalah
Al-Qur'an. Kalau Al-Qur'an saja yang dimudahkan oleh Allah dalam menghafalnya
bisa hilang kalau tidak dijaga, maka bagaimana dengan ilmu lainnya? Dan
sebaik-baik ilmu adalah manakala pokoknya dikuasai betul, sementara
cabang-cabangnya dipelajari dan bisa mengantarkannya untuk taat kepada Allah
serta bisa menunjukkan kepada perbuatan yang diridhai-Nya."
Sebagian ulama berkata, "Setiap
kemuliaan yang tidak didukung dengan ilmu, maka akan berakhir pada
kehinaan." (Ini adalah ucapan Al-Akhnas bin Qais).
Mendalami Ilmu dengan Mengeluarkan Cabang
Ilmu dari Pokoknya
Pelakunya adalah orang yang mampu tafaqquh
(mendalami ilmu) menghubungkan hukum-hukum syar'i dari sumbernya. Dalam hadits
Abdullah bin Mas'ud bahwasannya Rasulullah saw. bersabda, "Semoga Allah memberi cahaya
pada wajah orang yang mendengar ucapanku lalu menghafalnya dan memeliharannya,
kemudian menyampaikannya sebagaimana dia dingar, betapa banyak orang yang bisa
menghafal ilmu namun tidak memahaminya, dan betapa banyak orang yang menghafal
ilmu, lalu dia menyampaikannya kepada orang yang lebih paham dari dia." (HR Tirmidzi).
Orang yang paham ialah orang yang
mengetahui rahasia syariat Islam serta tujuan dan hikmah-hikmahnya, sehingga
dia sanggup mengembalikan cabang-cabang ilmu kepada pokoknya dan mampu
menerapkan segala sesuatu di atas hukum asalnya. Sehingga, dengan cara seperti itu, dia mendapatkan kebaikan yang banyak.
Berkata Ibnu Khair tentang pemahaman hadits
di atas, "Dalam hadits ini ada keterangan bahwa ilmu itu adalah kemampuan
mengambil dalil dan mengetahui makna sebuah ucapan dengan cara memahaminya,
yang mana hal ini mengandung kewajiban memahami dan mendalami makna hadits
serta mengeluarkan ilmunya yang masih tersimpan."
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan murid
beliau, Imam Ibnul Qayyim, banyak mempunyai kepahaman dalam h al ini. Barang
siapa yang membaca kitab-kitab kedua imam tersebut, maka dia bisa mengetahui cara
yang benar dalam memahami ilmu syar'i.
Di antara keunikan perkataan Imam Ibnu
Taimiyyah adalah apa yang beliau katakan saat berada di majelis tafaqquh
(pendalaman ilmu), beliau berkata, "Amma ba'du, dulu kami berada di
majelis tafaqquh fiddin, lalu kami menganalisa dalil-dalil syar'i secara
penggambaran masalah, penetapan masalah, pendasaran hukum dan perinciannya,
maka ada sebuah pembicaraan mengenai ..., lalu saya berkata, 'Laa haula wala
quwwata illa billaah, hal ini didasari atas satu pokok pembahasan dan dua
pasal'."
Ketahuilah--semoga Allah memberi petunjuk
kepadamu--bahwasannya memahami dan mendalami ilmu syar'i itu harus didahului
dengan berpikir (tafakkur), karena sesungguhnya Allah Ta'ala menyeru kepada
hamba-Nya bukan hanya di situ ayat agar bergerak dan memutar pandangan yang
tajam untuk berpikir tentang langit dan bumi, juga memusatkan perhatiannya
untuk melihat dirinya sendiri dan juga keadaan alam sekitarnya, untuk membuka
kekuatan akal pikiran, sehingga bisa memperkuat imam dan memperdalam hukum
serta memperoleh kemenangan ilmiah, sebagaimana firman Allah, "Demikianlah Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berpikir." (Al-Baqarah: 219). Juga, firman-Nya, "Katakanlah: 'Apakah sama
orang yang buta dengan orang yang melihat?' Maka apakah kamu tidak
memikirkan(nya)." (Al-An'am:
50).
Dari sini diketahui bahwasannya memahami
(tafaqquh) ilmu syar'i itu lebih jauh jangkauannya daripada sekadar berpikir,
karena memahami ilmu syar'i itu merupakan hasil dari berpikir, kalau tidak maka
sebagaimana firman Allah Ta'ala, "Maka
mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami
pembicaraan sedikit pun." (An-Nisaa':
78).
Namun, memahami ilmu syar'i ini dibatasi
dengan dalil dan juga harus dihalangi dari mengikuti hawa nafsu. Allah Ta'ala
berfirman, "Dan
sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang
kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu." (Al-Baqarah: 120).
Pernah Imam Syafi'i bertamu kepada Imam
Ahmad, dan beliau adalah murid Imam Syafi'i. Imam Ahmad banyak memuji Imam
Syafi'i di hadapan keluarganya. Lalu, tatkala disuguhkan makan malam, Imam
Syafi'i menghabiskannya dan mengembalikan piring dalam keadaan kosong. Maka,
keluarga Imam Ahmad pun heran dengan Imam Syafi'i. Bagaimana beliau
menghabiskan seluruh makanan, padahal menurut Sunnah Rasulullah, seseorang
seyogyanya hanya makan sedikit saja, sebagaimana sabda Rasulullah, "Cukuplah bagi seorang anak
Adam makan beberapa suapan yang cukup untuk menegakkan tulang rusuknya, dan
jika harus makan lebih, maka sepertiga perutnya untuk makanan, sepertiga untuk
menuman, dan sepertiga untuk napasnya." (HR Tirmidzi). Namun, Imam Syafi'i
memakan semuanya. Kemudian Imam Ahmad masuk menemui keluarganya dan Imam
Syafi'i tidur. Ketika malam, beliau tidak mengambil air wudhu, dan tatkala
adzan fajar beliau keluar untuk shalat namun tidak mengambil air wudhu. Tatkala
pagi hari keluarga Imam Ahmad berkata kepada beliau: "Bagaimana engkau
sangat memuji Imam Syafi'i, padahal dia memakan habis seluruh makanan, lalu
tidur kemudian pada pagi hari tidak mengambil air wudhu, bagaimana ini?" Maka,
Imam Ahmad berkata, "Saya akan memberitahukan kepada kalian." Maka,
beliau bertanya kepada Imam Syafi'i perihal tersebut, sehingga beliau menjawab:
"Adapun mengenai masalah makanan, saya tidak menemukan makanan yang lebih
halal daripada makanan Imam Ahmad, maka saya ingin memenuhi perutku dengannya,
adapun masalah saya tidak shalat tahajud karena memikirkan ilmu lebih baik
daripada shalat tahajud, saya semalam sedang berpikir dan menyimpulkan hukum
dari perkataan Rasulullah: 'Wahai
Abu Umair, apa yang dilakukan oleh si burung kecil (An-Nughair)!'[*]
seratus atau seribu faidah (hukum). Adapun mengenai saya tidak meminta air
wudhu untuk shalat shubuh, untuk apa saya minta air padahal saya masih dalam
keadaan punya wudhu'." Kemudian, Imam Ahmad menyebutkan jawaban itu kepada
keluarganya, sehingga mereka berkata: "Sekarang baru terjawab
teka-tekinya!" (*: HR Bukhari dan Muslim).
Wahai para pelajar, hiasilah dirimu dengan
selalu berpikir dan menganalisis, juga hiasilah dirimu dengan memahami dan
mendalami ilmu syar'i, semoga engkau mampu meneruskan jenjang dari hanya
sebagai orang yang sekadar faqih (memahami hukum-hukum agama) kepada jenjang
orang yang faqihun nafsi (menyimpulkan hukum-hukum agama sendiri), sebagaimana
yang diistilahkan oleh para fuqaha, yaitu orang yang mampu menghubungkan hukum
syar'i dengan sumber aslinya. Atau, dengan istilah lain jenjang orang yang
faqihul badan sebagaimana dalam istilah ahli hadits.
Oleh karena itu, maka arahkanlah
pandanganmu kepada dalil-dalil yang ada untuk menyimpulkan cabang-cabang hukum
dari pokoknya, dengan benar-benar memperhatikan seluruh kaidah yang ada, serta
perhatikan juga kaidah syariat Islam yang bersifat umum, seperti kaidah
maslahat, menghilangkan segala mudharat dan kesulitan, mendatangkan kemudahan,
menutup pintu-pintu hilah (cari-cari alasan) serta menutup segala jalan menuju
perbuatan yang haram.
Demikianlah engkau akan mendapatkan jalan
petunjukmu selama-lamanya, karena ini akan menolongmu pada saat-saat sulit,
juga sebagaimana yang telah saya katakan bahwasannya wajib bagimu berupaya
untuk memahami nash-nash syar'i dan memandang dengan jeli hal-hal yang
melatarbelakangi hukum-hukum tersebut, juga merenungi tujuan syariat ini. Kalau
engkau tidak memahami masalah ini, maka waktu belajarmu itu akan sia-sia
belaka, dan engkau berhak tetap dinamakan orang yang jahil. Kemampuan inilah
yang sebenarnya bisa dijadikan ukuran yang jeli tentang sampai di mana engkau mampu
menguasai ilmu syar'i.
Seorang ahli fiqih (faqih) adalah orang
yang apabila menghadapi permasalahan yang muncul yang tidak terdapat nashnya,
maka dia bisa menetapkan hukumnya. Ahli balaghah (sastra Arab) yang sebenarnya
bukanlah sekadar orang yang dapat menyebutkan macam dan perincian bab-babnya,
namun dia adalah orang yang kepiawaian balaghahnya mengalir saat membaca
kitabullah atau lainnya, mampu mengeluarkan simpanan ilmunya ini dan berbagai
segi baik saat dia menulis atau berceramah. Demikian juga hal ini berlaku dalam
semua disiplin ilmu.
Oleh karena itu, seharunya setiap orang
bisa menerapkan ilmunya pada kehidupan nyata, dengan pengertian kalau ada
sebuah permasalahan baru, maka dia bisa mengetahui hukumnya dengan melihat pada
dalilnya. Juga setiap kali dia mengetahui sesuatu bisa menerapkannya dalam
ucapan dan perbuatannya sehari-hari.
Bersandar kepada Allah dalam Menuntut Ilmu
Jangan gusar apabila engkau belum bisa
menguasai salah satu cabang ilmu. Karena ada sebagian cabang ilmu yang tidak
bisa dipahami oleh sebagian ulama besar, di antara mereka ada yang berterus
terang mengatakannya sebagaimana diketahui dalam biografinya. Mereka itu adalah
Imam Al-Ashma'i tidak mengerti ilmu 'arudh (ilmu tentang syair Arab),
Ar-Ruhawi--seorang ahli hadits--tidak menguasai ilmu khat, Imam Ibnu Shalah
tidak bisa menguasai ilmu manthiq, Abu Muslim an-Nahwi tiak ilmu sharaf, Imam
Asy-Suyuthi tidak menguasai ilmu matematika, demikian juga Imam Abu Ubaidah,
Muhammad bin 'Abdul Baqi al-Anshari, Abul Hasan al-Qathi'i, Abu Zakaria Yahya
bin Ziyad al-Farra', dan Abu Hamid al-Ghazali, kelima irang ini tidak menguasai
ilmu nahwu.
Wahai pelajar, lipat gandakan semangat,
pusatkanlah perhatianmu kepada Allah dalam berdoa, berserah diri, dan pasrah di
hadapan Allah. Dulu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah kalau kesulitan memahami
tafsir salah satu ayat, beliau sering berdoa: "Ya Allah, wahai Dzat yang
mengajarkan Adam dan Ibrahim, ajarkanlah kepadaku. Wahai Dzat yang memberikan
kepahaman kepada Sulaiman, pahamkanlah aku,"[*] sehingga beliau dapat
memahaminya. (*: Lihat Majmuu'al
Fatawa [IV/38]).
Amanah Ilmiah
Wajib bagi seorang pelajar untuk
benar-benar menjaga amanah ilmiah, baik saat belajar, menuntut ilmu, bekerja,
ataupun saat menyampaikan ilmu. Karena, keberhasilan sebuah umat tergantung
pada kebaikan amalnya, dan kebaikan amalnya tergantung pada kebenaran ilmunya,
dan kebenaran ilmunya adalah manakala ulamanya bersikap amanah dalam hal yang
mereka lihat dan paparkan. Barang siapa yang berbicara pada salah satu bidang
ilmu tanpa adanya rasa amanah, maka dia telah mengotori ilmu itu sendiri dengan
nanah, dan menghalangi keberhasilan umat ini dengan batu sandungan.
Sesuatu yang sangat penting bagi seorang
pelajar adalah mempunyai rasa amanah ilmiah, dia harus amanah dalam menukil dan
menyifati (memaparkan) sesuatu. Tidak menambahi dan tidak mengurangi, karena
kebanyakan manusia tidak terlalu perhatian pada masalah amanah. Ada yang kalau
menyifati sesuatu, dia menyampaikan sesuatu dan membuang yang tidak disenangi,
juga saat menukil ucapan ulama, dia menukil yang dia senangi dan membuang
lainnya. Sebagaimana ucapan penyair:
"Rabb-mu tidak mengatakan pada kelompok pertama bahwa mereka itu mabuk.
Namun Rabb-mu berkata: 'Celakalah orang-orang yang mengerjakan shalat'."
"Rabb-mu tidak mengatakan pada kelompok pertama bahwa mereka itu mabuk.
Namun Rabb-mu berkata: 'Celakalah orang-orang yang mengerjakan shalat'."
Dia membuang terusan ayat tersebut:
"(Yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya." (Al-Maa'uun: 5).
"(Yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya." (Al-Maa'uun: 5).
Ini merupakan sebuah batu sandungan dan
penipuan dalam dunia ilmiah, karena kewajiban seseorang itu kalau menukil dan
menyifati (memaparkan) haruslah dengan penuh amanah. Dan bukankah tidak akan
membahayakanmu kalau nantinya dalil tersebut berbeda dengan pendapatmu, karena
wajib bagimu untuk mengikuti dalil yang ada. Lalu engkau menyampaikannya kepada
umat, sehingga umat ini bisa mengetahui perkara yang sebenarnya.
Tidak adanya rasa amanah bisa menjadikan
pelakunya menjadi fasik, yang tidak boleh diterima kabar dan beritanya, karena
dia (dianggap) seorang penipu.
Setiap kelompok penuntut ilmu tidak akan
pernah kosong dari orang-orang yang (mereka) dalam menuntut ilmu bukan bertujuan
untuk berakhlak yang mulia, juga tidak untuk memberi manfaat kepada orang lain
dengan ilmu yang mereka pelajari. Orang-orang yang semisal mereka ini tidak
akan mempunyai sifat amanah, jadi mereka tidak pernah merasa berdosa untuk
meriwayatkan apa yang sebenarnya tidak mereka dengar, ataupun juga menceritakan
hal yang tidak mereka ketahui. Inilah yang menjadikan para ulama besar
mengkritisi para perawi hadits.
Hendaklah dibedakan antara orang yang
berlebih-lebihan dalam perkataannya dengan orang yang hanya mengatakan apa yang
diketahuinya, sehingga para penuntut ilmu bisa mengetahui kadar ilmiah apa yang
mereka baca, tidak lagi samar bagi mereka, juga bisa diketahui kepastian apakah
dia jujur atau dusta, atau kuat mana antara jujur dan dustanya, ataukah mungkin
memiliki kadar yang sama.
Kejujuran
Tutur kata yang jujur merupakan tanda
kewibawaan, kemuliaan jiwa, kebersihan hati, ketinggian cita-cita, kuatnya
akal, kecintaan antar-sesama, senangnya kebersamaan, dan penjagaan terhadap
din. Oleh karena inilah kejujuran menjadi fardhu 'ain (kewajiban bagi setiap
individu), maka alangkah meruginya orang yang tidak memilikinya, dan barang
siapa yang tidak jujur, maka dia berarti telah mengotori jiwa dan ilmunya
dengan penyakit.
Kejujuran di sini hampir mirip dengan
masalah amanah ilmiah. Karena, amanah ilmiah hanya akan terwujud dengan adanya
kejujuran, sedangkan kejujuran sebagaimana yang dikatakan Syaikh di sini adalah
sebagai tanda kewibawaan, kemuliaan jia, dan juga kebersihan hati. Maka, jika
dengan kedustaan saja bisa berhasil, maka tentunya dengan kejujuran akan lebih
menjamin keberhasilan, dan kebohongan itu tidak akan berlangsung lama, karena
dengan cepat akan terungkaplah kebohongannya.
Kejujuran pasti akan berakibat baik, maka
dari itu milikilah sikap jujur itu. Dan jika engkau takut bahwa kejujuran itu
akan bisa membahayakanmu, maka sabarlah. Karena, sesungguhnya kejujuran itu
menghantarkan kepada kebaikan, dan kebaikan akan menghantarkan ke Surga, dan
jika seseorang selalu berbuat jujur, maka Allah akan mencatat di sisi-Nya bahwa
dia adalah seorang yang jujur.
Maka, janganlah engkau mengatakan:
"Sesungguhnya Allah mengharamkan ini," padahal Allah tidak
mengharmkannya; "Allah mewajibkan itu," padahal tidak. Dan jangan
pula mengatakan: "Si Fulan yang seorang alim berkata begini," padahal
tidak. Jauhilah olehmu berkata semacam itu.
Sebagian ulama mengecualikan bahwa ada
dusta yang diperbolehkan, yaitu dusta untuk tauriyah[*]. Akan tetapi, tidak
perlu ada pengecualian dalam hal ini, karena tauriyah sebenarnya adalah
kejujuran, kalau sudah kita lihat dari sisi pembicaraannya. Sebagai contoh
adalah perkataan Nabi Ibrahim a.s. kepada seorang raja yang zalim: "Ini
adalah saudariku," maksud beliau adalah istrinya, Sarah. (*: Tauriyah
adalah mengucapkan sebuah lafaz yang mengandung dua arti, yang mendengar lafaz
itu menyangka salah satu maknanya, padahal yang diinginkan oleh pembicara
adalah makna yang lain, pen.).
Perkataan ini tidak terhitung sebagai
kebohongan, meskipun Nabi Ibrahim a.s. berudzur saat dimintai syafa'at dengan
alasan karena dia pernah berdusta sebanyak tiga kali, akan tetapi dia berdusta
untuk menghadapi orang yang zalim dan melampaui batas, padahal sebenarnya
beliau saat itu telah berkata jujur.
Sebagian ulama mengecualikan juga dusta
yang dibolehkan sebagaimana yang diriwayatkan dalam sebuah hadits bahwa tidak
boleh dusta kecuali dalam tiga hal, yaitu dalam peperangan, untuk mendamaikan
manusia, dan perkataan seorang wanita terhadap suaminya atau suami terhadap
istrinya. (Lihat Syarh an-Nawawi 'ala Shahihi Muslim [XII/45], bab
"Bolehnya Dusta dalam Peperangan").
Akan tetapi, sebagian ulama ada yang
mengatakan bahwa hal ini masuk pada bab tauriyah, bukan termasuk dalam dusta
yang sebenarnya, sebab peperangan adalah tipu daya, yakni dengan cara
memperlihatkan kepada musuh bahwa engkau akan menuju sebuah arah padahal yang
engkau tuju adalah arah yang lain, atau trik-trik lainnya.
Demikian juga dalam masalah mendamaikan
antara sesama manusia, janganlah engkau berdusta, tetapi katakanlah:
"Seandainya ada yang bertanya kepadamu: 'Apakah dia menggunjingku?' Maka
jawablah bahwa dia tidak pernah menggunjingmu sedikit pun'."
Begitu juga masalah kebolehan dusta bagi
seorang wanita terhadap suaminya. Yang dimaksud adalah secara tauriyah, bukan
benar-benar berdusta. Pendapat ini tidaklah jauh dari kebenaran, karena kebohongan
akan mengantarkan pada kemaksiatan, sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah
saw. dan tidak akan mengantarkan pada kebaikan.
Imam Al-Auza'i berkata, "Pelajarilah
kejujuran sebelum engkau mempelajari ilmu."
Waqi' berkata, "Ilmu ini tidak akan
diperoleh kecuali oleh orang-orang yang jujur."
Maka dari itu, pelajarilah kejujuran
terlebih dahulu sebelum engkau mempelajari ilmu. Kejujuran adalah mengatakan
sesuatu sesuai dengan kenyataan dan keyakinan yang ada, kejujuran ini hanya ada
satu cara, sedangkan kedustaan banyak cara dan ragamnya, namun bisa disimpulkan
menjadi tiga hal, yaitu (sebagai berikut).
1.
Dusta Seorang
Penjilat : Maksudnya adalah kedustaan yang
berbeda dengan kenyataan dan juga keyakinan yang sebenarnya. Contohnya orang
yang mencari muka terhadap orang yang dia ketahui sebagai orang fasik dan ahli
bid'ah, namun dia katakan sebagai orang yang istiqamah untuk mencari muka
(perhatian) darinya.
2.
Dusta Orang Munafik : Maksudnya adalah kedustaan yang berbeda dengan keyakinan, namun sama
dengan kenyataan, sebagaimana orang munafik, mereka mengatakan sebagaimana yang
dikatakan oleh Ahlus Sunnah.
3.
Dusta Orang Dungu : Maksudnya adalah kedustaan yang berbeda dengan kenyataan namun serasi
dengan keyakinan, seperti orang yang percaya akan keshalehan orang sufi yang
mubtadi' (ahli bid'ah), lalu dia menyebutnya sebagai wali.
Perisai bagi Seorang Pelajar
Perisai seorang ulama adalah ucapan:
"Saya tidak tahu," dan tirainya akan dirobek oleh kesombongan tidak
mau mengucapkannya, juga ucapannya: "Katanya." Berdasarkan prinsip
ini, maka kalau setengah ilmu adalah ucapan "saya tidak tahu," maka
setengah kebodohan adalah ucapan "katanya atau saya kira."
Ini benar dan ini juga sebagai pelengkap
penjelasan sebelumnya, bahwa seseorang itu wajib berkata "saya tidak
tahu," apabila memang tidak tahu. Ini tidak akan membahayakannya, bahkan
akan menambah kepercayaan orang lain kepadanya.
Adapun ucapan Syaikh: "Setengah
kebodohan adalah ucapan saya kira atau katanya," ini juga benar. Karena,
sebagian orang awam banyak yang ditanya hukum ini halal atau haram. Dia
menjawab, "Saya kira ini haram." Bolehkah kita percaya pada ucapan
orang awam? Tidak boleh, oleh karena itu betapa banyak manusia yang diberi
fatwa oleh orang-orang awam dengan fatwa yang salah, terutama sekali saat musim
haji.
Menjaga Modal Utamanya, yaitu Waktu dan
Umurmu
Pergunakanlah selalu waktumu untuk belajar,
selalulah bekerja, jangan menganggur dan malas, beradalah di tempat kerja
jangan berada di tempat begadang malam. Jagalah waktumu dengan selalu bekerja
keras, belajar, berkumpul dengan para guru, menyibukkan diri dengan membaca
maupun mengajar, merenung, menelaah, menghafal, dan meneliti. Terutama pada saat masih muda yang ketika itu engkau masih sehat. Manfaatkanlah
waktu yang sangat berharga ini agar engkau mampu mendapatkan derajat ilmu yang
tinggi, karena waktu muda adalah waktu yang bagus untuk kosentrasi hati dan
pikiran, karena masih sedikit untuk memenuhi kehidupan dan kepemimpinan, juga
saat beban dan tanggungan masih ringan.
Oleh karena itu, Umar bin Khaththab
berkata, "Belajarlah kalian sebelum menjadi pemimpin." Karena,
seseorang kalau sudah menjadi pemimpin akan banyak urusannya, lalu pikirannya
pun bercabang, sehingga konsentrasinya pun buyar. Saat dia ingin mengerjakan
sesuatu tiba-tiba ada keperluan lain yang jauh lebih mendesak dari yang akan
dia kerjakan sebelumnya, maka dia pun harus mengurungkan niatnya. Oleh karena
itu, sungguh-sungguhlah engkau belajar mumpung masih memiliki waktu longgar. Jadikanlah
lembaran-lembaran kitab itu menjadi rutinitas pandangan matamu. Ketahuilah
bahwasannya kalau engkau telah terbiasa dengan sungguh-sungguh dalam belajar,
maka ini akan menjadi kebiasaanmu.
Jadikanlah penelitianmu itu terarah dengan
baik, jangan asal comot dari sana-sini. Jadikanlah penelitianmu secara runut
dari yang sangat penting ke yang penting terlebih dahulu, sehingga engkau
mempunyai kemampuan untuk mengeluarkan setiap permasalahan dari kaidahnya,
serta mampu mengeluarkan cabang dari pokoknya.
Jangan sampai engkau suka menunda-nunda
pekerjaan, jangan katakan, "Nanti kalau sudah selesai dari pekerjaan ini
... nanti kalau sudah pensiun ... atau lainnya." Namun, bergegaslah
sebelum engkau terkena untaian bait syair Abu Thahhan al-Qaini:
"Tubuhku membungkuk oleh karena sudah tua,
sehingga sekarang saya seakan-akan orang merunduk untuk mendekati binatang buruan.
Saya berjalan sangat lambat,
sehingga orang lain menyangka akan terikat padahal tidak."
"Tubuhku membungkuk oleh karena sudah tua,
sehingga sekarang saya seakan-akan orang merunduk untuk mendekati binatang buruan.
Saya berjalan sangat lambat,
sehingga orang lain menyangka akan terikat padahal tidak."
Berkata Usamah bin Munqidz:
"Pada umur 80 tubuhku sudah dikuasai oleh kelemahan.
Dan lemahnya kaki serta tanganku sangat menyusahkanku.
Kalau saya menulis, maka tulisanku seperti tulisan orang yang gemetar.
Saya heran dengan lemahnya tanganku, padahal hanya untuk memegang pena.
Padahal dahulu mampu menancapkan tombak di leher singa.
Katakanlah kepada orang yang ingin berumur panjang.
Ini adalah kesudahan dari orang yang berumur panjang."
"Pada umur 80 tubuhku sudah dikuasai oleh kelemahan.
Dan lemahnya kaki serta tanganku sangat menyusahkanku.
Kalau saya menulis, maka tulisanku seperti tulisan orang yang gemetar.
Saya heran dengan lemahnya tanganku, padahal hanya untuk memegang pena.
Padahal dahulu mampu menancapkan tombak di leher singa.
Katakanlah kepada orang yang ingin berumur panjang.
Ini adalah kesudahan dari orang yang berumur panjang."
Namun, jika engkau bersegera belajar, maka
itu adalah bukti bahwa engkau benar-benar mempunyai cita-cita yang besar dalam
menuntut ilmu.
Istirahat
Luangkanlah sedikit waktumu untuk istirahat
di taman ilmu dengan menelaah kitab-kitab tsaqafah umum, karena hati itu harus
diistirahatkan sewaktu-waktu. Diriwayatkan dari Amirul Mukminin Ali bin Abu
Thalib bahwasannya beliau berkata, "Rilekkanlah hatimu dengan mempelajari
keunikan ilmu dan hikmah, karena hati itu bila merasa bosan (jenuh) sebagaimana
badan." (Lihat Kasyful
Khafa' [I/524]).
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
tentang hikmah dilarangnya shalat sunnah di semua waktu, "Larangan
menjalankan shalat sunnah di sebagian waktu terdapat banyak manfaatnya, yaitu
untuk mengistirahatkan jiwa beberapa saat dari lelahnya ibadah, sebagaimana
bisa juga istirahat dengan tidur atau lainnya, oleh karena itu Mu'adz bin Jabal
berkata, 'Sesungguhnya saya mengharapkan pahala dengan tidurku sebagaimana saya
juga berharap pahala saat aku terjaga'." (Majmu' Fatawa [XXIII/187]).
Syaikhul Islam juga berkata, "Bahkan
termasuk hikmah larangan menjalankan shalat sunnah di sebagian waktu adalah
untuk mengistirahatkan jiwa saat waktu terlarang agar jiwa bisa semangat lagi
saat menjalankan shalat, karena jiwa itu akan bersemangat untuk menjalankan
ibadah yang tadinya dilarang, juga akan rajin untuk menjalankan shalat setelah
beristirahat. Wallaahu a'lam." (Majmu' Fatawa [XXIII/217]).
Dari sini harus kita ketahui bahwasannya
merilekkan hati dan memberinya sedikit waktu untuk istirahat agar nantinya bisa
semangat lagi adalah sesuatu yang disyariatkan seperti dalam sabda Rasulullah
saw., "Sesungguhnya
jiwamu punya hak atasmu begitu juga Rabb-mu mempunyai hak atasmu serta keluarga
dan istrimu pun juga mempunyai hak atsmu, maka berikanlah hak mereka
masing-masing." (HR
Bukhari). Sebenarnya hadits inilah timbangan utama yang bisa membuat hati
menjadi tenang, bukan apa yang diriwayatkan dari Umar, Ali, dan lainnya. Seandainya
Syaikh berdalil dengan hadits ini, pasti akan semakin jelas permasalahannya.
Kami temukan hal semacam ini dalam
kitab-kitab adab belajar dan juga kitab sejarah. Sebagai sebuah contoh kitab Adab al-Mu'allimin oleh Imam As-Suhnun (hlm. 104), Ar-Risalah al-Mufashshalah oleh Al-Qabishy (hlm. 135-137), Asy-Syaqa'iq an-Nu'maniyyah (hlm. 120), Abjadul 'Ulum (I/195-196), Alaisa ash-Shubbu Biqariib oleh Thahir Ibnu 'Asyur, Fatawa Rasyid Ridha (1212), Mu'jamul Buldan (III/102), dan Fatawa Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah (XXV/318-320, 329).
Pembetulan dan Pelurusan Bacaan
Bersungguh-sungguhlah untuk membetulkan
bacaanmu kepada seorang guru yang mumpuni agar engkau terbebas dari
penyelewengan, kesalahan, dan perubahan kata. Apabila engkau amati biografi
para ulama, terutama para pakar ahli hadits, niscaya akan engkau dapatkan
jumlah yang tidak sedikit, mereka membaca kitab-kitab besar di banyak majelis
dan selama berhari-hari untuk sekadar membetulkan bacaan kepada seorang guru
yang mumpuni.
Poin ini sangat penting, yaitu memantapkan
ilmu dan meluruskannya agar menancap di hati, karena itulah ilmu yang
sebenarnya. Dan itu harus dilakukan dengan seorang guru (syaikh) yang mumpuni,
adapun guru karbitan (pura-pura jadi syaikh), maka hindarilah dia, karena dia
akan banyak membahayakanmu.
Pemantapan ilmu itu ada cara tersendiri
dalam setiap disiplin ilmunya. Kadang-kadang engkau dapati ada seorang guru
yang bisa menguasai ilmu fara'idh namun tidak menguasai hukum seputar shalat,
juga ada orang yang menguasai ilmu bahasa namun tidak menguasai ilmu syar'i. Maka,
mantapkanlah ilmumu dari seorang alim yang menguasainya selagi hal itu tidak
membahayakanmu, misalnya kalau engkau mendapatkan seseorang yang sangat
menguasai ilmu bahasa Arab namun dia menyeleweng dalam aqidah dan akhlaknya,
maka orang semacam ini tidak selayaknya kita berguru kepadanya, karena hal itu
akan membuat banyak orang tertipu, mereka akan menyangka bahwasannya dia itu
berada di atas kebenaran. Kita harus belajar kepada orang lain yang aqidahnya
lurus dan akhlaknya baik, meskipun sebenarnya orang tadilah yang paling
menguasai ilmu tersebut.
Al-Hafidz Ibnu Hajar membaca Shahih al-Bukhari dalam sepuluh majelis, dan setiap
majelis selama sepuluh jam. Beliau juga membaca Shahih Muslim dalam empat majelis sekitar dua hari
hari lebih sedikit.
Kalau begitu berapa jamkah itu semua?
Seratus jam! Allaahul musta'an (hanya kepada Allah kami memohon pertolongan). Namun,
itu hanya membaca saja tanpa keterangan dan pemahaman.
Pekerjaan ini beliau slesaikan pada hari
Arafah tepatnya pada hari Jumat tahun 813 H. Beliau juga membaca Sunan Abu Dawud dalam empat majelis dan Mu'jam ath-Thabrani ash-Shaghir hanya dalam satu majelis antara shalat
dhuhur dan ashar. Begitu juga guru beliau, Imam Al-Fairuz Abadi, saat berada di
Damaskus beliau membaca Shahih
Muslim dengan bacaan cermat (tepat)
pada gurunya, Ibnu Jahbal, selama tiga hari. Ada banyak kisah aneh, lagi
menakjubkan, tentang hal semacam ini dari Al-Khatib al-Baghdadi, Al-Mu'taman
as-Saji, Ibnul Abar, dan selain mereka yang akan sangat panjang kalau
disebutkan satu per satu, cukup lihat saja di dalam kitab Siyar A'lamin Nubala' oleh Imam Adz-Dzahabi (XVIII/277-279,
XIX/310, XXI/253), juga Thabaqaat
asy-Syaafi'iyyah karya Imam
As-Subki (IV/30), Al-Jawaahir
wad-Durar oleh Imam
As-Sakhawi (I/103), Fat-hul
Mughiits (II/46), Sadzaraatudz Dzahab(VIII/121,
206), Hulaashatul Atsar (I/72-73), Fihris al-Fahaaris oleh Al-Kattani dan Taajul Aruus
(I/45-46). Maka, jangan sampai engkau melupakan bagianmu dalam hal itu.
Menelaah Kitab-Kitab Besar
Menelaah kitab-kitab yang besar adalah
perkara yang sangat penting agar memperoleh banyak ilmu pengetahuan, meluaskan
pemahaman, mengeluarkan hal-hal tersembunyi dari lautan faedah ilmiah dan
istimewa, berpengalaman dalam mencari titik-titik pembahasan dan
masalah-masalah ilmiah serta bisa mengetahui cara para ulama dalam karya ilmiah
dan istilah mereka. Dahulu para ulama selalu menulis pada akhir bacaan mereka
kalimat: "Sampai di sini," agar tidak ada yang terlewatkan saat ingin
mengulangi kembali, terutama kalau sudah lama ditinggalkan.
Pembahasan ini masih perlu dirinci. Karena,
menelaah kitab-kitab besar bisa bermanfaat bagi seorang pelajar namun bisa juga
membahayakannya. Kalau dia seorang pelajar yang masih pemula, maka menelaah
kitab-kitab besar semacam itu akan membawa kehancuran pada dirinya, gambarannya
semacam orang yang tidak pandai berenang lalu terjun ke dalam air. Namun, kalau
dia orang yang sudah berilmu, namun masih ingin menambah ilmu pengetahuannya
lagi, maka menelaah kitab-kitab besar ini adalah sesuatu yang baik.
Adapun menulis lafaz "Sampai di
sini", ini adalah sesuatu yang baik, yang mengandung dua faedah: (1) agar
engkau tidak lupa aya yang sudah engkau baca, (2) agar orang lain mengetahui
bahwa engkau sudah menguasainya, maka dia akan semakin percaya kepadamu.
Bertanya dengan Baik
Beradablah yang baik ketika bertanya,
mendengarkan, memahami jawaban dengan baik, dan setelah mendapatkan jawaban
janganlah engkau mengatakan, "Ustadz Fulan berkata begini dan
begitu," karena ini adalah adab yang hina dan mengadu domba antar-para
ulama, jauhilah hal ini. Dan jika memang hal itu harus engkau lakukan, maka
jelaskanlah dalam bentuk pertanyaan, katakanlah, "Apa pendapat Anda
tentang fatwa semacam ini," dan jangan engkau sebutkan namanya.
Berkata Imam Ibnul Qayyim, "Apabila
engkau belajar kepada seorang ulama, maka bertanyalah dengan tujuan agar engkau
mengetahui jawabannya, bukan untuk membantahnya." (Lihat Miftah Darus Sa'adah [hlm. 168]).
Beliau juga berkata, "Ilmu itu
mempunyai enam tingkatan: (1) bertanya dengan baik, (2) mendengarkan dengan
baik, (3) memahami dengan baik, (4) menghafal, (5) mengajarkan, (6) mengamalkan
dan menjaga adab-adabnya. Dan, inilah buah dari sebuah ilmu. Kemudian, beliau
menerangkan satu per satu dengan sebuah penjelasan yang penting.
Pertama, bertanya dengan baik. Ini kalau memang butuh bertanya, kalau tidak butuh,
jangan bertanya. Namun, kalau Anda mau bertanya dengan maksud agar orang lain
mengetahui meskipun Anda sendiri sudah mengetahui, maka boleh, bahkan orang
yang bertanya semacam ini sama saja dengan mengajarkan ilmu kepada mereka. Karena,
Rasulullah saw. tatkala didatangi oleh Jibril a.s., lalu beliau bertanya
tentang Islam, iman, dan ihsan, serta tanda-tanda hari kiamat, maka Rasulullah
saw. bersabda, "Dia itu Jibril
yang datang kepada kalian untuk mengajarkan ajaran agama kalian." (HR Muslim). Namun, jika dia bertanya
agar dipuji oleh orang lain, ini adalah sebuah sikap yang salah. Juga merupakan
sebuah kesalahan kalau ada yang mengatakan, "Saya tidak ingin bertanya
karena malu."
Kedua, mendengarkan dengan baik (cukup jelas). Ketiga,
memahami dengan baik (cukup jelas).
Keempat, menghafal. Mengahafal ini ada dua macam.
1. Sesuatu yang secara tabiat diberikan oleh Allah Ta'ala kepada orang yang dikehendaki-Nya. Kadang ada orang yang menghadapi sebuah masalah, lalu mempelajarinya dan menghafalnya, dan tidak pernah melupakannya.
1. Sesuatu yang secara tabiat diberikan oleh Allah Ta'ala kepada orang yang dikehendaki-Nya. Kadang ada orang yang menghadapi sebuah masalah, lalu mempelajarinya dan menghafalnya, dan tidak pernah melupakannya.
2. Menghafal dengan usaha, maksudnya
seseorang melatih diri untuk menghafal dan mengingat-ingat apa yang telah
dihafalkannya. Kalau orang ini sering mengulang-ulang, maka akan mudah baginya
menghafalkannya.
Kelima, mengajarkan. Dalam pandanganku (editor isi: Abu 'Azzam, red) bahwa ini
adalah tingkatan yang keenam, dan yang kelima adalah mengamalkan ilmunya. Dia
harus mengamalkan ilmunya untuk memperbaiki dirinya sendiri sebelum memperbaiki
orang lain, lalu baru mengajarkan kepada orang lain. Rasulullah saw. bersabda, "Mulailah dari dirimu sendiri
kemudian keluargamu." Oleh
karena itu, amalkanlah dahulu sebelum mengerjakannya. Namun, bisa saja engkau
mengatakan bahwa mengajarkannya termasuk mengamalkan ilmu, karena di antara
cara mengamalkan ilmu adalah engkau laksanakan apa yang telah diwajibkan oleh
Allah Ta'ala dengan cara menyebarkan dan mengajarkannya.
Diskusi dengan tanpa Perdebatan
Jauhilah perdebatan karena akan menjadi
bencana. Adapun berdiskusi dalam kebenaran adalah kenikmatan, sebab akan bisa
menampakkan mana yang benar dan mana yang bathil, mana yang kuat dan tidak. Diskusi
ini didasari atas saling manasihati, kasih sayang, dan keinginan menyebarkan
ilmu. Adapun perdebatan hanyalah ingin menang, riya, mencari kesalahan,
sombong, yang penting menang, permusuhan, dan membodohi orang yang memang
bodoh. Maka, jauhilah perdebatan ini, juga jauhilah orang yang suka berdebat,
niscaya engkau akan selamat dari dosa dan perbuatan haram.
Saudaraku ..., hendaknya engkau mencari
kebenaran, baik saat berdebat dengan orang lain ataupun saat merenung
sendirian, kalau kebenaran itu sudah nampak, maka segeralah mengatakan saya
dengar dan saya akan menaatinya. Oleh karena itu, para sahabat menerima hukuman
Rasulullah saw. tanpa membantah sedikit pun, juga mereka tidaklah mengatakan
bagaimana pendapatmu tentang hal ini dan itu. Ada seorang yang berdebat dengan
Abdullah bin Umar, lalu dia berkata, bagaimana pendapatmu? Maka, beliau
menjawab, "Jadikanlah ucapanmu (bagaimana pendapatmu) di negeri
Yaman." Karena, orang tersebut memang berasal dari Yaman.
Tatkala orang-orang Irak bertanya kepada
beliau tentang darah nyamuk, apakah boleh membunuh nyamuk ataukah tidak, maka
beliau menjawab, "Subhanallah, orang-orang Irak ini membunuh cucu
Rasulullah, lalu mereka datang untuk bertanya tentang darah nyamuk?" Tidak
diragukan lagi bahwa orang semacam ini hanyalah ingin berdebat saja.
Mengulangi Pelajaran
Bergembiralah dengan mengulangi pelajaran
dan mendiskusikannya bersama orang-orang yang cerdas, karena hal ini terkadang
bisa lebih baik daripada menelaah ilmu sendiri. Juga, bisa mengasah otak dan
membuat kuatnya ingatan, dengan tetap bersikap sportif, lembut, dan menjauhi
kecurangan, tidak berbuat zalim, kacau, dan serampangan. Namun, berhati-hatilah
karena mengulang pelajaran ini akan mengungkap cela orang yang tidak serius,
juga kalau mengulangi pelajaran bersama orang yang rendah ilmunya dan otaknya
tumpul bisa menjadi sebuah penyakit. Adapun kalau engkau mengulangi pelajaran
dengan sendirian, maka memang itu harus engkau lakukan, dalam sebuah ungkapan,
"Menghidupkan ilmu itu adalah dengan cara mengulang-ulangnya."
Selalu Hidup Bersama Al-Qur'an dan As-Sunnah serta Cabang-Cabang
Ilmunya
Karena, Al-Qur'an dan As-Sunnah adalah semacam dua sayap burung,
maka jangan sampai salah satu sayap itu terputus.
Ini adalah salah satu adab belajar. Seorang
pelajar harus selalu besanding dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah, sebagaimana
seekor burung yang tidak bisa terbang kecuali dengan dua sayap, apabila salah
satu dari keduanya patah, maka dia tidak akan bisa terbang lagi. Kalau begitu,
janganlah engkau selalu memperhatikan As-Sunnah lalu meremehkan Al-Qur'an. Atau
sebaliknya, memperhatikan Al-Qur'an namun meremehkan As-Sunnah.
Ada lagi perkara yang ketiga yang harus
diperhatikan, yaitu perkataan para ulama, meskipun ini sudah tercakup dalam
ucapan Syaikh: "Dan cabang-cabang ilmu keduanya. Janganlah engkau
meremehkan perkataan para ulama, karena mereka lebih dalam ilmunya daripada
ilmumu, juga mereka mempunyai kaidah-kaidah syara' yang tidak engkau
ketahui." Oleh karana itulah para ulama apabila menguatkan salah satu
pendapat, mereka selalu mengatkan, "Kalau memang ini sudah ada yang
mengatakannya, maka inilah pendapat kami. Namun, kalau belum ada yang
mengucapkannya, maka kami pun tidak mengatakannya."
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah apabila
berpendapat sesuatu yang beliau sendiri belum mengetahui ada yang berpendapat
demikian--padahal beliau sangat luas ilmunya--, maka beliau mengatakan,
"Saya berpendapat demikian jika ada yang sudah berpendapat demikian."
Jangan mengambil pendapatnya sendiri, lalu berkata, "Saya bisa memahami
sendiri Al-Qur'an, tidak perlu melihat pendapat orang lain." Ini adalah
sebuah kesalahan.
Menyempurnakan Ilmu Alat dalam setiap
Disiplin Ilmu
Engkau tidak akan pernah menjadi seorang
pelajar yang bagus selagi tidak menyempurnakan ilmu alat dalam setiap disiplin
ilmu, sampaipun kalau si unta masuk ke lubang jarum. Dalam bidang fiqih harus menguasai ilmu fiqih dengan ushul fiqih. Dalam
ilmu hadits antara ilmu riwayah dengan dirayah, dan begitu seterusnya. Kalau
tidak demikian, maka jangan menyusahkan diri. Allah Ta'ala berfirman, "Orang-orang yang telah beri
al-kitab kepadanya, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya ...." (Al-Baqarah: 121).
Dari ayat ini diambil pelajaran bahwa seorang pelajar janganlah
meninggalkan sebuah disiplin ilmu sehingga menguasainya dengan baik.
Yang dimaksud dengan tilawah di sini adalah membaca lafaz dan
memahami maknanya serta mengamalkannya. Karena, diambil dari kata
"talaahu" yang artinya adalah mengikutinya. Orang-orang yang telah
diturunkan kepada mereka kitab tidak mungkin dinamakan ahli kitab kecuali kalau
mereka membacanya dengan sebenar-benarnya.
Yang dimaksud ilmu riwayah adalah meriwayatkan sanad dan rawi
hadits, sedangkan yang dimaksud dirayah adalah memahami maknanya.
Sumber: Diringkas oleh Abu Annisa dari Syarah
Adab dan Manfaat Menuntut Ilmu, terj. Ahmad Sabiq, Lc, editor isi Abu
'Azzam (Pustaka Imam Asy-Syafi'i, 2005); judul asli: Syarah Hilyah Thaalibil 'Ilmi,
Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin (Maktabah Nurul Huda, 2003).