LAYANAN ADVOKASI, MEDIASI DAN KONSULTASI BK


 LAYANAN ADVOKASI BK


A.  Pengertian dan Deskripsi
1.   Pengertian

Layanan advokasi adalah layanan BK yang membantu peserta didik untuk memperoleh kembali hak-hak dirinya yang tidak diperhatikan dan atau mendapatkan perlakuan yang salah sesuai dengan tuntutan karakter-cerdas dan terpuji.[1]
2.   Deskripsi
Salah fungsi konseling adalah fungsi advokasi yang artinya membela hak seseorang yang tercederai. Sebagaimana  diketahui bahwa setiap orang  memiliki berbagai hak yang secara umum dirumuskan didalam dokumen HAM (Hak Asasi Manusia). Berlandaskan HAM itu setiap orang memiliki hak-hak yang menjamin keberadaannya, kehidupannya dan perkembangan dirinya. Fungsi advokasi dalam konseling berupaya memberikan bantuan (oleh konselor) agar hak-hak yang menjamin keberadaan, kehidupan dan perkembangan orang atau individu atau klien yang bersangkutan kembali memperoleh hak-haknya yang selama ini dirampas, dihalangi, dihambat, dibatasi atau dijegal.
Layanan advokasi diterapkan oleh konselor untuk menangani berbagai kondisi tentang tercederainya hak seseorang terkait dengan pihak lain yang berkewenangan demi dikembalikannya hak klien yang dimaksudkan.

B.  Tujuan
1.   Tujuan Umum

Layanan advokasi dalam konseling bermaksud mengentaskan klien dari suasana yang menghimpit dirinya karena hak-hak yang hendak dilaksanakan terhambat dan terkekang sehingga keberadaan, kehidupan dan perkembangannya, khususnya dalam bidang pendidikan menjadi tidak lancar, terganggu, atau bahkan terhenti atau terputus. Dengan layanan advokasi yang berhasil klien akan kembali menikmati hak-haknya, yang dengan demikian klien berada kembali dalam posisi perkembangan diri (yaitu pengembangan pribadi, sosial, belajar, karier, keluarga, keagamaan, dan atau kemasyarakatan) secara positif dan progresif.

2.   Tujuan Khusus
Tujuan khusus layanan advokasi dalam konseling adalah membebaskan klien dari cengkeraman pihak tertentu yang membatasi atau bahkan menghapus hak klien dan masalah klien teratasi. Karena konseling adalah profesi dalam bidang pendidikan, maka layanan advokasi dalam konseling dilakukan berkenaan dengan hak-hak klien dalam bidang pendidikan. Di luar bidang pendidikan, layanan advokasi dapat dilaksanakan oleh konselor sepanjang pemasalahan klien masih berada dalam kewenangan konselor menanganinya.

C. Komponen Layanan
Layanan advokasi dalam konseling dapat menyangkut komponen yang lebih bervariasi, baik berkenaan dengan person-person yang terkait maupun variasi kondisi dan keluasaan materinya. Segenap person tersebut dan kondisi materi yang ada dimanfaatkan untuk kepentingan klien.

1.   Konselor
Konselor sebagai pelaksana layanan advokasi dituntut untuk mampu berkomunikasi, melobi dan mengambil manfaat sebesar-besarnya dari hubungan dengan pihak-pihak terkait, dan juga mengolah kondisi dan materi secara optimal. WPKNS (Wawasan, Pengetahuan, Keterampilan, Nilai dan Sikap) yang ada pada diri konselor cukup luas dan memadai terkait dengan pelanggaran hak klien yang dilayani dan pihak-pihak terkait.

2.   Korban Pelanggan Hak
Korban pelanggan hak merupakan person atau individu atau klien yang mrnjadi “bintang” dalam layanan advokasi. Untuk klienlah segenap upaya dilaksanakan. Keputusan atau kondisi yang menerpa klien diupayakan untuk diangkat sehingga tidak lagi menimpa dan menghinggapi dirinya. Hak yang dipecundangi itu dikembalikan kepada klien, sedapat-dapatnya sepenuhnya, sejenis-jenisnya, sebersih-bersihnya. Dari kondisi semula yang bermasalah sampai dengan kembalinya hak klien untuk selanjutnya klien menjadi individu yang dapat menikmati haknya untuk sebesar-besarnya kesempatan dirinya.

3.   Pihak-pihak Terkait
Pihak terkait pertama adalah person yang memiliki kewenangan untuk mempengaruhi terimplementasikannya hak klien. Pengaruh dari pihak yang berkewenangan itu dapat dalam kadar yang bervariasi, pengaruhnya cukup ringan atau sampai amat berat atau bahkan bersifat final. Pada kasus siswa tersebut di atas pengaruh dari pihak yang dimaksudkan itu bersifat final, yaitu tidak boleh masuk sekolah dan tidak boleh mengikuti UN.
Untuk kasus siswa SMA itu pihak yang berkewenagan tertinggi adalah kepada sekolah yang membuat keputusan final terhadap siswa tentang kesempatan masuk sekolah dan keikutsertaan UN. Pengaruh kepada sekolah adalah bersifat final, keputusan tidak berkadar 100%. Di samping itu ada pihak “tingkat (level) dua”, yaitu guru BK (yang tidak ahli BK), yang melabeli siswa sebagai “gila” yang menjadi alasan bagi kepala sekolah membuat keputusan final. Pihak lain lagi yaitu guru yang memberi tugas terlalu amat berat sehingga tidak mungkin dikerjakan oleh siswa, yang membuat siswa seperti “gila” menurut pandangan guru BK. Pihak lain adalah orang tua siswa, yang menerima dampak paling berat kedua selain anaknya yang haknya dicabut itu. Selain itu ada dokter yang memeriksa siswa yang dilabeli gila itu. Konselor dituntut untuk mampu “menganggap” pihak-pihak terkait itu.

D.  Materi Layanan
a.   Isi atau materi layanan ADVO terfokus pada ak klien yang terkena perlakuan negatif oleh pihak atau pihak-pihak tertentu sehingga (sangat) merugikan klien. Materi tersebut bervariasi terutama kalau dilihat dari perlakuan pencederaan hak klien oleh pihak terkait. Dalam kasus diatas materi puncak ADVO adalah putusan kepala sekolah yang melarang siswa masuk sekolah dan ikut ujian. Materi terkait dengan guru BK adalah sikap dan label yang diberikan kepada siswa; materi terkait dengan guru adalah tugas untuk siswa yang terlalu amat berat, dan materi terkait dengan orang tua adalah beban orang tua terkait keputusan kepala sekolah. Dalam layanan advokasi konselor menganggap segenap materi tersebut yang mengarah kepada terselesaikannya hak siswa berkenaan kegiatan pembelajaran di sekolah dan ikut UN.
b.  Berkenaan materi karakter-cerdas, konselor setiap kali mengangkat materi karakter-cerdas pada berbagai aspek layanan agar seluruh kegiatan layanan isinya diwarnai oleh suasana perilaku/ penampilan dengan prospektif karakter-cerdas.

E.  Asas
Asas kesukarelaan dan asas keterbukaan sangat diperlukan  berkenaan penggalian informasi, kesediaan mengubah ataupun memperbaiki konsep/ pandangan dan sikap berdasarkan nilai-nilai yang lebih rasional, berdasarkan moral dan progresif, serta kemauan positif bersama untuk memuliakan harkat dan martabat manusia (HMM) yang ada pada diri klien dapat dikembangkan melalui teraktualisasikannya kedua asas tersebut.
Asas kegiatan pada diri klien tidak banyak dituntut dari klien, karena ia sebagai korban memang tidak bisa banyak berbuat, kecuali menunggu hasil akhir layanan advokasi. Asas kerahasiaan diberlakukan dalam bentuk tidak membesar-besarkan permasalahan yang terjadi yang akan berdampak negatif bagi pihak-pihak terkait, atau yang akan justru menyulitkan terlaksananya program yang dilakukan melalui layanan advokasi.

F.  Pendekatan, Strategi dan Teknik

1.   Format Kolaboratif
Karena layanan advokasi menyangkut sejumlah pihak terkait, apalagi pihak-pihak tertentu itu ada yang berdasarkan pada tingkat (level) tertentu sama atau beda, maka format layanan adalah kolaboratif. Konselor langsung berkomunikasi dengan pihak-pihak yang dimaksud untuk menggali informasi, kesempatan dan kemudahan, serta kerjasama hal-hal positif lainnya demi mengembalikan hak klien yang selama ini kurang atau tidak dinikmati oleh klien.

2.   Strategi BMB3
Dalam hubungan dengan pihak-pihak terkait konselor mengembangkan suasana BMB3 (berfikir, merasa, bersikap, bertindak, dan bertanggung jawab) demi terpecahkannya permasalahan klien dan diperolehnya solusi yang terbaik sehingga klien kembali memperoleh hak-haknya.

3.   Teknik
a.   Teknik wawancara, diskusi dan mempertimbangkan bersama pada umumnya dipakai dalam hubungan dengan pihak-pihak terkait.
b.   Studi dokumentasi ataupun data aktual berkenaan dengan kondisi klien dan hal-hal terkait dengan permasalahan hak dan implementasinya.
c.   Solusi tentang pengembalian hak klien diambil dari pihak berkewenangan dapat dengan diberlakukannya secara bertingkat ataupun atas hasil musyawarah pihak-pihak terkait.

4.   Waktu dan Tempat
Waktu pelaksanaan layanan ADVO mengikuti tahap-tahap kegiatan yang dapat berlanjut atau kembali ke belakang sesuai dengan kemajuan yang dicapai lamanya waktu tidak dapat ditetapkan dalam minggu atau hari apalagi jam. Waktu dan tempat kegiatan layanan ADVO bervariasi disesuaikan dengan kedudukan pihak terkait dan kesempatan yang tepat bagi konselor melaksanakan tugasnya. Pemanfaatan waktu dan tempat ini merupakan bagian dari kepiawaian konselor dalam mengaplikasikan pendekatan, strategi dan teknik serta sekaligus seni konselor dalam menangani masalah klien.

G.  Keterkaitan Kegiatan Pendukung

a.   Keterkaitan Jenis Layanan Lainnya
Spektrum layanan ADVO berkenaan dengan pihak-pihak terkait dengan materinya yang cukup luas dan bervariasi. Layanan orientasi dan layanan informasi dapat dijadikan sebagai “sub-layanan” atau layanan pendamping untuk membantu konselor dalam memperoleh berbagai data aktual dan informasi yang diperlukan. Layanan penempatan dan penyaluran serta layanan penguasaan konten dapat membantu konselor mengarahkan klien yang hak-haknya dirampas ke arah hal-hal yang dapat mengkompensasi kegiatan atas dirampasnya hak-hak tersebut.
Layanan konseling perorangan dan bimbingan kelompok yang dilakukan terutama terhadap klien dapat menyiapkan klien menghadapi dampak dirampasnya hak-haknya itu. Layanan konsultasi diselenggarakan untuk membina hubungan dan peranan pihak tertentu terhadap pihak lainnya, pihak orang tua terhadap klien yang tidak lain adalah anak orang tua tersebut. Layanan mediasi untuk mempertemukan pihak satu dan pihak lainnya yang mungkin dalam satu dan lain hal berseberangan. Semua hasil “sub-layanan” tersebut diharapkan dapat memperlancar proses layanan ADVO menuju hasil akhir, yaitu diraihnya kembali hak-hak klien sebagaimana diharapkan.

b.   Karakteristik Kegiatan Pendukung
1.   Aplikasi Instrumentasi dan Himpunan Data
Data yang diperoleh dari aplikasi instrumentasi dan himpunan data memberikan data kepada konselor yang berguna untuk memperkuat layanan ADVO.
2.   Konferensi Kasus
Dalam layanan ADVO dapat diselenggarakan konferensi kasus untuk membicarakan secara lebih terkoordinasi masalah klien dengan mengikutsertakan pihak-pihak terkat.
3.   Kunjungan Rumah
Kunjungan rumah dilaksanakan terutama terhadap keluarga klien untuk memperoleh informasi yang lebih lengkap terhadap klien dan keluarganya serta kondisi-kondisi umum keluarga dan lingkungannya, sepanjang informasi itu terkait dengan masalah klien.
4.   Tampilan Kepustakaan
Tampilan kepustakaan untuk melengkapi informasi tentang hubungan klien (khususnya yang sedang menjadi fokus layanan). Tampilan kepustakaan ini dapat berlangsung sepanjang proses layanan.
5.   Alih Tangan Kasus
Alih tangan kasus dilaksanakan  terarah kepada ahli selain konselor terhadap permasalahan hak klien agar masalah klien itu terselesaikan lebih tuntas.

H.    Operasionalisasi Layanan (SPO)
Layanan ADVO cukup kompleks dengan pihak-pihak terkait dan materi pembahasannya yang bervariasi dan dapat berkembang ke berbagai arah. Oleh karenanya, pelaksanaan layanan akan lebih memakan pemikiran, upaya dan kerjasama semua pihak agar tercapai hasil yang optimal.
1.   Perencanaan
SATLAN layanan ADVO, selain berisi identifikasi klien secara lengkap beserta masalah dan kondisi awal dirinya, juga secara komprehensif memuat materi dasar dan pengembangannya dan hubungannya dengan pihak-pihak terkait. Rencana layanan ini juga membuka keyakinan diselenggarakannya berbagai “sub-layanan” sebagaimana dikemukakan di atas untuk mengoptimalkan proses dan hasil.
2.   Pengorganisasian Unsur-unsur dan Sarana Layanan
Setelah rencana yang bersifat terbuka dan komprehensif dipersiapkan, sebelum layanan ADVO secara nyata diwujudkan dilapangan terlebih dahulu diatur dan diorganisasikan segenap unsur materi dan sarana, pihak-pihak terkait dan urusan administrasinya, waktu dan tempat, serta aspek terkait operasional lainnya secara rapi demi kelancaran pelaksanaan layanan. Pengaturan dan organisasi seperti itu setiap kali disesuaikan dan dibangun kembali sesuai dengan kemajuan, hasil, dan keperluan objektif pada tahap kemajuan layanan.
3.    Pelaksanaan layanan
Rencana dan sarana awalnya yang telah disiapkan itu dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kelancaran dan keberhasilan layanan. Selama layanan berlangsung pengorganisasian dan pengaturan kembali segala sesuatunya dapat dilakukan.
4.   Penilaian
Penilaian terhadap hasil dan proses layanan dilakukan sesuai dengan tahap-tahap pelaksanaan. Penilaian ini bersifat progresif tahap demi tahap sampai dengan penilaian akhir. Penilaian diorientasikan pada sampai berapa jauh hak-hak klien yang ditangani melalui layanan ADVO dapat dikembalikan secara penuh kepada klien.
5.   Tindak Lanjut
Tindak lanjut dilakukan sesuai dengan hasil penilaian secara progresif pada setiap tahap layanan. Demikian pula laporan yang dibuat, dapat dibuat berupa laporan per tahap kegiatan dan/ atau laporan lengkap pada akhir keseluruhan layanan, sesuai dengan keperluannya.
Kegiatan layanan ADVO diakhiri dengan disusunnya LAPELPROG (Laporan Pelaksanaan Program) yang disampaikan kepada pihak-pihak tertentu sesuai dengan keperluannya.[2]




LAYANAN MEDIASI BK



A.    Pengertian Layanan Mediasi

Istilah “mediasi” terkait dengan istilah “media” yang berasal dari kata “medium” yang berarti perantara. Dalam literatur Islam istilah “mediasi” sama dengan “wasilah” yang juga berarti perantara. Berdasarkan arti di atas, mediasi bisa dimaknai sebagai suatu kegiatan yang mengantarai atau menjadi wasilah atau menghubungkan yang semula terpisah. Juga bermakna menjalin hubungan antara dua kondisi yang berbeda dan mengadakan kontak sehingga dua pihak yang semula terpisah menjadi saling terkait.Melalui mediasi atau wasilah dua pihak yang sebelumnya terpisah menjadi saling terkait, saling mengurangi atau meniadakan jarak, saling memperkecil perbedaan sehingga jarak keduanya menjadi lebih dekat. Dengan layanan mediasi konselor berusaha mengantarai atau membangun hubungan diantara mereka, sehingga mereka menghentikan dan terhindar dari pertentangan lebih lanjut yang merugikan semua pihak.

B.     Tujuan
Fokus layanan mediasi adalah perubahan atau kondisi awal menjadi kondisi baru dalam hubungan antara pihak-pihak yang bermasalah. Tujuan layanan mediasi dibedakan menjadi tujuan umum dan tujuan khusus, yakni :
1.      Tujuan Umum
Layanan mediasi (MED) pada umumnya bertujuan agar tercapai kondisi hubungan yang positif dan kondusif diantara para klien, yaitu pihak-pihak yang berselisih.
2.      Tujuan khusus
Secara Khusus Layanan mediasi bertujuan agar terjadi perubahan atas kondisi awal yang negative (bertikai atau bermusuhan) menjadi kondisi baru (kondusif dan bersahabat)   dalam hubungan antara dua belah pihak yang bermasalah. Terjadinya perubahan kondisi awal yang cenderung negatif kepada kondisi yang lebih positif .

C.     Komponen
Proses layanan MED melibatkan konselor dank lien, yaitu dua pihak (atau lebih) yang sedang mengalami masalah berupa ketidakcocokan diantara mereka.
1.      Konselor
Konselor sebagai perencana dan penyelenggara layanan MED mendalami permasalahan yang terjadi pada hubungan diantara pihak-pihak yang bertikai.Konselor membangun jembatan diatas jurang yang mengaga diantara dua pihak (atau lebih) yang sedang bermasalah itu.
2.      Klien
Berbeda dari layanan onseling perorangan, pada layanan mediasi konselor menghadapi klien yang terdiri dari dua pihak atau lebih, dua orang individu atau lebih, dua kelompok atau lebih, atau kombinasi sejumlah individu dan kelompok
3.      Masalah klien.
masalah klien yang dibahas dalam layanan mediasi pada dasarnya adalah masalah hubungan yang terjadi diantara individu dan atau kelompok-kelompok yang sedang bertikai, yang sekarang meminta bantuan konselor untuk mengatasinya. Masalah-masalah tersebut dapat berpangkal pada pertikaian atas kepemilikan sesuatu, kejadian dadakan seperti perkelahian, persaingan perebutan sesuatu., perasaan tersinggung, dendam dan sakit hati., tuntutan atas hak, dsb. Pokok pangkal permasalahan tersebut menjadikan kedua belah pihak (atau lebih) menjadi tidak harmonis atau bahkan saling antagonistic yang selanjutnya dapat menimbulkan suasana eksplosif yang dapat membawa malapetaka atau bahkan korban.

D.    Asas
Pada dasarnya semua asas konseling perlu mendapat perhatian dan diterapkan dalam layanan mediasi

1.      Asas Kerahasiaan
Layanan mediasi melibatkan lebih dari dua orang, yaitu konselor dan dua orang klien atau lebih.Identitas pribadi dan segenap materi yang dibicarakan dalam layanan MED diketahui setidak-tidaknya oleh segenap peserta layanan. Semua orang yang terlibat dalam pertikaian dan masalah yang dipertikaikan itu bukan rahasia lagi bagi semua orang yang ikut serta dalam layanan.
Dalam hal seperti diatas, asas kerahasiaan hendaknya ditekankan agar semua orang yang terlibat dalam layanan (termasuk konselor) tidak menyebarluaskan informasi apapun kepada siapapun berkenaan dengan orang—orang yang ikut serta menjadi klien dan permasalahan yang dibahas dalam layanan. Asas kerahasiaan harus dipegang teguh agar permasallahan yang sedang dicarikan pemecahannya itu tidak justru semakin meluas, atau pemecahannya menjadi rumit. Dalam layanan mediasi, asas kerahasiaan seperti itu benar-benar ditekankan oleh konselor untuk dipahami dan diamalkan oleh semua peserta layanan.

2.      Asas keterbukaan
Layanan MED diikuti oleh dua orang atau lebih klien.Semua orang yang mengikuti layanan hendaknya membuka diri seluas-luasnya sesuai dengan permasalahan yang dibahas. Keterbukaan para peserta layanan secara langsung maupun tidak langsung dipengaruhi oleh adanya orang ketiga dalam proses layanan, baik orang lan itu dari pihak atau kelompok sendiri maupun dari lawan yang bertikai. Untuk itu konselor harus bekerja keras untuk membangun keterbukaan diantara klien, dengan cara :

a.       Konselor tidak memihak.
Untuk mengatasi suasana tidak terbuka, konselor meyakinkan para klien bahwa konselor tidak memihak pada siapapun kecuali kepada kebenaran. Tidak berpihak kepada si A, B atau C atau kepada pihak yang satu atau kepada pihak yang lain. Konselor menjelaskan dan memberikan contoh-contoh ketidakberpihakan itu.
b.      Masalah yang dibahas adalah masalah bersama.
Suasana saling menyalahkan, diri atau pihak sendirilah yang benar dan yang lain salah, biasanya mewarnai hubungan antar klien, terutama di awal proses layanan. Suasana itu perlu diubah oleh konselor, sehingga semua peserta layanan memahami dan dapat menerima bahwa masalah yang mereka hadapi itu adalah masalah bersama.Semua pihak harus secara bersama membahas masalah tersebut dan menyelesaikannya. Apabila satu pihak saja yang menyelesaikan masalah, pihak lain tidak mau menerima penyelesaian sepihak itu, masalah bisa semain rumit dan layanan mediasi menjadi tidak bermanfaat. Dalam hal ini, sejak awal proses layanan, mengembangkan suasanan kebersamaan itu. Suasanan kebersamaan itu akan memungkinkan semua pihak secara terbuka membahas masalah yang mereka hadapi.
Para peserta layanan saling mengenal dan menerima. Kebersamaan dan keterbukaan akan tumbuh diantara para peserta layanan apabila mereka saling mengenal dan saling menerima secara langsung dan pribadi. Sikap segan, ragu, malu, berprasangka, dan/ataupun takut, seringkali dilator belakangi oleh kondisi saling tidak mengenal dan menerima.Teknik perkenalan mendalam yang biasa dipakai dalam bimbingan/konseling kelompok (tahap pembentukan) dapat digunakan.
c.       Perlakuan adil.
Keterbukaan para peserta layanan akan berkembang apabila mereka merasa bahwa konselor berlaku adil kepada mereka.tidak ada yang diutamakan atau dinomorduakan atau dikesampingkan. Tidak ada yang disalahkan atau dimenangkan, dilindungi atau dipojokkan. Konselor menghargai mereka semua, menganggap mereka sebagai pribadi-pribadi yang memiliki kedudukan sama, yaitu kedudukan yang layak memeroleh penghargaan dan penghormatan secara tulus dan jujur.
Dengan penampilan konselor yang tidak memihak, berpandangan optimis terhadap permasalahan mereka, serta mengembangkan hubungan yang positif, tulus dan jujur, serta penuh penghargaan dan penghormatan, semua peserta layanan diharapkan merasa tidak memiliki beban untuk bersikap tidak terbuka.

3.      Asas Kesukarelaan
Idealnya semua peserta sejak awalnya bersukarela (self referral) mengikuti layanan mediasi. Namun hal seperti itu amat sulit terjadi apabila :
-          suasana pertikaian diantara kedua belah pihak (yang sebenarnya memerlukan layanan mediasi) masih marak,
-          mereka menganggap mediasi itu tidak perlu,
-          mereka masing-masing menganggap perilakunyalah yang benar dan yang lain salah
-          pihak yang merasa kuat dan benar menolak mediasi dan pihak yang lemah kurang memercayai mediasi dari pihak ketiga karena menganggap mediator akan tidak adil, dan memihak kepada yang kuat sedangkan pihak yang kuat menganggap mediator tidak akan sanggup menyelesaikan
pihak-pihak yang bertikai dapat memasuki layanan mediasi apabila :
-          kedua belah pihak sudah lelah bertikai dan korban sudah cukup banyak, mereka ingin berdamai, maka dari itu mereka membutuhkan mediator untuk mencari jalan-jalan damai yang tidak merugikan salah satu pihak
-          salah satu pihak merasa kewalahan menghadapi lawannya dan mencari jaan agar pihaknya tidak terlalu dikalahkan. Pihak ini mencari mediatr untuk mendapatkan keadilan. Kondisi ini hanya akan membawa kedua belah pihak yang satu lagi menyetujuinya dan mau mundur selangkah dan tidak begitu sja menghabisi pihak yang berinisiatif mencari perdamaian itu
-          kedua belah pihak mempunyai atasan dan para atasan berkehendak membawa anak buah yang bertikai itu kepada konselor untuk mendapatkan layanan konseling.
Ketiga kondisi tersebut diatas memang dapat mengantarkan pihak-pihak yang bertikai memasuki layanan mediasi, meskipun derajat kesukarelaan mereka pada awalnya sangat tipis. Dalam keadaan seperti ini, tugas pertaa konselor adalah membangun keterbukaan semua peserta layanan melalui cara-cara penerimaan yang baik dan memberiikan penstrukturan yang didalamnya terkandung pengembangan asas kerahasiaan dan keterbukaan, sehingga mmereka dapat bersukarela mengikuti proses layanan

4.      Asas kekinian
materi pokok yang menjadi focus bahasan dalam layanan mediasi adalah hal-hal yang bersifat actual, yang menyangkut pikiran, perasaan, persepsi, sikap, dan kemungkinan tindakan yang ada atau berkembang sekarang.
5.      Asas kemandirian.
Dengan layanan mediasi, seluruh peserta layanan diharapkan dapat mengembangkan kemandirian mereka, dalam berfikir, merasa, berpendapat dan berpandangan, bersikap, bertindak dan bertanggungjawab (BMB3).Kemandirian itu bersifat dan mengarah kepada hal-hal positif yang jauh dari suasana pertikaian, permusuhan ataupun persaingan tidak sehat terhadap pihak-pihak lain sebagaimana hal itu terjadi sebelum layanan mediasi.
6.      Asas-asas lainnya
Asas-asas lain dalam konseling, yaitu asas kegiatan, kedinamisan, keterpaduan, kenormatifan, keahlian, alih tangan kasus dan tutwuri handayani, pelaksanaannya dalam layanan mediasi sebagaimana dalam layanan konseling lainnya. Dalam layanan mediasi, pelaksanaan asas-asas tersebut tertuju kepada sejumlah klien dari dua “kubu” atau lebih dan memfasilitasi terbinanya hubungan diantara mereka yang semakin kondusif, dan permisif serta berkembangnya nilai-nilai positif dalam hubungan mereka itu.

E.     Isi Layanan Mediasi
Masalah atau isi yang dibahas dalam layanan mediasi adalah hal-hal yang berkaitan dengan hubungan yang terjadi antara individu –individu (para siswa) atau kelompok-kelompok yang bertikai. Masalah-masalah tersebut dapat mencakup:
a.       Pertikaian atas kepemilikan sesuatu
b.      Kejadian dadakan (perkelahian) antara siswa atau kelompok siswa
c.       Perasaan tersinggung
d.      Dendam dan sakit hati
e.       Tuntutan atas hak dll.
Isi atau masalah dan layanan yang dibahas dalam layanan mediasi lebih banyak berkenaan dengan masalah-masalah individu yang berhubungan dengan orang lain atau lingkungan nya (masalah sosial)
Masalah-masalah yang menjadi isi layanan mediasi bukan masalah yang bersifat kriminal. Dengan perkataan lain individu atau kelompok yang menjadi klien dalam layanan mediasi, tidak sedang terlibat dalam kasus kriminal yang menjadi urusan petugas polisi.
F.      Pendekatan, Strategi dan Teknik
1.      Format Kolaboratif
Dalam layanan MED konselor menghubungi orang-orang atau pihak-pihak lain yang memiliki keterkaitan dengan masalah yang sedang dibahas. Pihak-pihak lain diupayakan dapat menyumbang kepada pengentasan masalah yang dibahas itu.
2.      Pendekatan.
a.       Saya oke, kamu juga oke
Hal pertama dan utama yang menjadi perhatian konselor dalam layanan mediasi adalah hubungan antar orang yang terjadi diantara pihak-pihak yang menjadi peserta layanan. Dalam hal ini hubungan tersebut hendaknya didasari oleh persepsi dan sikap “saya oke kamu juga oke” (SOKO) yang merupakan kondisi bagi berkembangnya hubungan yang positif dan produktif. Melalui penegakan asas-asas, terutama asas kerahasiaan, keterbukaan dan kesukarelaan, serta berbagai teknik konseling yang diawali oleh teknik penerimaan terhadap klien dan penstrukturam, suasana SOKO dapat dikembangkan secara bertahap.
b.      Komunikasi secara dewasa.
Dapat dibayangkan dalam suasana hubungan yang tidak disadari oleh suasana SOKO, komunikasi diantara pihak-pihak yang bertikai diwarnai oleh pembicaraan yang kurang menyenangkan dan tidak dapat diterima oleh pihak lain. Pembicaraan atau pesan-pesan yang disampaikan bernada penekanan, tuntutan,, ungkapan menyalahkan, menghukum, memerintah. Appabila kedua pihak yang bertikai itu sudah mampu berbicara secara lugas, rasional, apa adanya, tidak lagi diwarnai oleh nada nada PES melainkan oleh AES, jalan damai permasalahn masalah diantara mereka besar kemungkinan dapat terlaksana. Tgas konselor adallah mengembangkan komunikasi AES diantara para peserta layanan mediasi.
c.       Pendekatan komprehensif
Masalah yang terjadi diantara pihak-pihak yang bertikai harus dilihat secara komprehensif, pemahaman terhadap satu kesatuan yang menyeluruh tidak dilihat dari sudut-sudut bbagian-bagiannya secara terpisah-pisah.
d.      Pendekatan realistic, bermoral dan bertanggungjawab
Pendekatan realistik menekankan pentingnya diperhatikan hal-hal yang menjadi kenyataan. Sehingga setiap apa saja yang akan dilakukan tidak terlepas dari kenyataan yang ada, sedangkan tanggung jawab secara khusus Glasser memaknainya sebagai pengendalian diri, agar apa yang dilakukan tidak merugikan dan tidak pula mengganggu pihak lainnya.
3.      Strategi BMB3
Sejak awalkegiatan layanan konselor menegakkan strategi BMB3 untuk mendorong kedua belah pihak berpikir, merasa, bersikap, bertindak, dan bertanggung jawab sepositif mungkin dalam menghadapi, membicarakan dan mencari solusi berkenaan dengan masalah konsulti dan pihak ketiga.
4.      Teknik
Penerapan teknik-teknik tertentu dalam konseling layanan mediasi, pada prinsipnya bertujuan antara lain untuk mengaktifkan peserta layanan (siswa) dalam proses layanan. Khusus layanan mediasi, semua peserta secara individual didorong untuk secara aktif berpartisipasi.

Ada dua terknik yang yang diterapkan dalam layanan mediasi antara lain

1.        Teknik umum
a)      Penerimaan terhadap klien dan posisi duduk
Suasanan penerimaan harus dapat mencerminkan suasana penghormatan, keakraban, kehangatan dan keterbukaan terhadap semua calon peserta layanan, sehingga timbul suasana kondusif proses layanan mediasi.
b)      Penstrukturan
Melalui perstrukturan, konselor mengembangkan pemahaman peserta layanan tentang apa, mengapa, untuk apa dan bagaimana layanan mediasi itu. Dalam perstrukturan juga dikembangkan  tentang pentingnya asas-asas konseling dalam layanan mediasi terutama asas kerahasiaan, keterbukaan, dan kesukarelaan. Selain itu juga harus dikembangkan juga pemahaman terhadap klien bahwa konselor tidak memihak, kacuali kepada kebenaran.
c)   Ajakan untuk berbicara
Apabila melalui perstrukturan belum mau berbicara, konselor harus mengajak siswa agar mau membicarakanya. Ajakan berbicara dapat diawali dengan upaya konselor mencari tau adanya perselisihan yang dialami para siswa dan bagaimana konselor dapat bertemu dengan mereka.
Dan teknik umum lainnya ialah sebagai berikut :
a)      Kontak mata, kontak psikologis, dorongan minimalis, dan teknik 3M diarahkan kepada tiap siswa yang sedang berbicara.
b)      Keruntutan, refleksi, dan pertanyaan terbuka disampaikan kepada pembicara dan dapat dijawab oleh peserta  selain pembicara. Kehati-hatian konselor sangat dituntut, terlebih apabila jawaban atas pertanyaan terbuka diberikan oleh pihak lain yang berselisih atau yang berseberangan dengan pembicara.
c)      Penyimpulan dan penafsiran, dan konfrontasi khususnya ditujukan kepada pembicara dan secara umum boleh ditanggapi oleh peserta lainnya.
d)     Transferensi dan kontra transeferensi sangat mungkin muncul diantara para peserta. Oleh karena itu, konselor harus secara cerdas mengendalikan diri dalam mengemukakan kontra transferensi.
e)      Teknik eksperiensil diterapkan untuk memunculkan pengalaman-pengalaman khusus, terutama dari peserta yang benar-benar mengalami berkenaan dengan permasalahan yang sedang dibahas dalam layanan mediasi.
f)       Strategi memfrustasikan klien (siswa) dan tiada maaf diterapkan untuk membangun semangat para peserta dalam penyelesaian masalah yang dihadapi. Konselor (pembimbing) harus hati-hati dalam menerapkan strategi ini agar tidak menimbulkan sikap mempertahankan diri atau sikap negatif lain nya.

2.       Teknik khusus
Beberapa teknik khusus yang bisa diterapkan dalam mediasi adalah :
a)      Informasi dan contoh pribadi, teknik ini diterapakan apabila siswa benar-benar memerlukan. Informasi harus diberikan secara jelas dan objektif, sedangkan contoh pribadi harus diberikan secara sederhana dan berlebihan.
b)      Perumusan tujuan, pemberian contoh dan latihan bertingkah laku. Teknik ini diarahkan untuk terbentuknya tingkah laku baru, latihan bertingkah laku, khususnya  cara berhubungan  atau berkomunikasi dapat dilakukan melalui teknik kursi kosong.
c)      Nasihat, teknik ini diterapkan apabila benar- benar diperlukan. Usahakan tidak memberikan nasihat. Apabila teknik-teknik yang lain sudah diterapkan secara baik, nasihat tidak diperlukan lagi.
d)      Peneguhan hasrat dan kontrak, teknik ini merupakan tahap pengunci atas berbagai upaya pengubahan tingkah laku yang telah dilaksanakan. Teguhnya hasrat merupakan komitmen diri bahwa apa yang telah dilatihkan dan semua hasil layanan mediasi benar-benar dilaksanakan. Komitmen tersebut dapat disusun dalam bentuk kontrak yang realisasinya akan ditindaklanjuti oleh klien dan konselor.

Kegiatan pendukung layanan mediasi

Sebagaimana layanan-layanan yang lain, layanan mediasi juga memerlukan kegiatan pendukung. Adapun kegiatan pendukung layanan mediasi laianya adalah:

1.      Aplikasi instrumentasi
Sebelum melakukan aplikasi instrumentasi, terlebih dahulu harus diketahui hal-hal apa yang perlu diukur dan di ungkap berkenaan dengan permasalahan siswa yang berkasus dan para anggota kelompok.

2.      Himpunan data
Apabila peserta layanan mediasi adalah siswa disekolah, himpunan data yang telah ada bisa digunakan dalam layanan mediasi. Apapun data  yang telah ada dan hendak digunakan,  pengungkapan dan penggunaannya harus disesuaikan dengan kewenangan penggunaannya.

3.      Konferensi kasus
Menurut prayitno (2004) layanan mediasi merupakan konferensi kasus mini, karena dihadiri oleh dua pihak  yang berselisih atau bertikai dan dilaksankan oleh konselor. Ada tiga jenis konferensi kasus mediasi, yaitu
a.       Konferensi kasus yang dihadiri oleh peserta layanan mediasi dan pihak-pihak yang lain yang dianggap dapat membantu penyelesaian masalah yang dibahas dalam layanan mediasi.
b.      Konferensi kasus yang dihadiri oleh wakil-wakil pihak lain yang dianggap dapat membantu penyelesaian masalah yang dibahas dalam layanan mediasi.
c.       Konferensi kasus yang dihadiri oleh pihak-pihak lain yang dianggap dapat membantu penyelesaian masalah yang di bahas dalam layanan mediasi, dan tidak diwakili oleh wakil-wakil peserta layanan.

4.      Kunjungan Rumah
KR umumnya dimaksudkan untuk memperluas data yang diperoleh melalui aplikasi instrumen yang lain dan membina komitmen anggota keluarga yang dikunjungi dalam rangka penyelesaian masalah yang dibahas dalam layanan. Khusus dalam layanan mediasi, KR (kunjungan rumah) juga dapat terarah untuk maksud lain seperti, kunjungan rumah yang dilakukan untuk menjenguk korban perkelahian, adalah bermaksud untuk menjenguk korban atau menyampaikan hasil-hasil mediasi.

5.      Alih Tangan Kasus.
Bahwa layanan mediasi seperti juga layanan-layanan yang lain, tidak membahas persoalan siswa yang terkait dengan kriminal, gangguan penyakit baik fisik maupun psikis, akut dan mistik. Kosnselor tidak boleh menyinggung masalah-masalah diatas. Dengan perkataan lain, apabila masalah-masalah criminal atau pidana ada tanda-tanda mencuat dalam proses konseling, konselor harus menghentikan pembahan masalah dan mengalihtangankan kepada petugas lain yang lebih berwenang (prayitno, 2004).

G.    Operasionalisasi Layanan Mediasi
Seperti layanan-layanan yang lain, pelaksanaan layanan mediasi juga melalui proses atau tahapan-tahapan sebagai berikut

1.      Perencanaan
Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini adalah:
a.       Mengidentifikasi pihak-pihak yang akan menjadi peserta layanan
b.      Mengatur dengan calon peserta layanan
c.       Menetapkan fasilitas layanan
d.      Menyiapkan kelengkapan administrasi

2.      Pelaksanaan
Pelaksanaan yang meliputi kegiatan
a.       Menerima pihak-pihak yang berselisih atau bertikai
b.      Menyelenggaraan perstrukturan layanan mediasi
c.       Membahas masalah yang dirasakan oleh pihak-pihak yang menjadi peserta layanan
d.      Menyelenggarakan pengubahan tingkah laku peserta layanan
e.       Membina komitmen peserta layanan demi hubungan baik dengan pihak –pihak lain
f.       Melakukan penilain segera (laiseg)

3.      Evaluasi
Pada tahap ini kegiatan yang dilakukan adalah melakukan evaluasi terhadaphasil-hasil layanan mediasi. Fokus evaluasi hasil layanan ialah diperoleh nya pemahaman baru (understanding) klien, berkembangnya perasaan positif  (comfort), dan kegiatan apa yang akan dilakukan oleh klien (action) setelah proses layanan berlangsung. Evaluasi dalam layanan mediasi dapat dilakukan dalam tiga tahap, yaitu :
a.       Evaluasi atau penilaian segera yang fokusnya adalah understanding (pemahaman baru klien), comfort (perkembangan perasaan positif), dan action (kegiatan yang akan dilakukan klien setelah proses layanan berlangsung)
b.      Evaluasi atau penilaian jangka pendek. Fokus evaluasi ini adalah kualitas hubungan antara dua belah pihak yang berselisih. Indikatornya adalah apakah masalah yang ada diantara mereka sudah benar-benar mereda, sudah hilang sama sekali, atau apakah sudah berkembang secara harmonis, saling mendukung dan bersifat positif dan produktif
c.       Evaluasi atau penilain jangka panjang. Penilaian ini merupakan pendalaman, perluasan dan pemantapan penilaian segera dan penilaian jangka pendek dalam rentang waktu yang lama (prayitno, 2004)
Penilaian dalam layanan mediasi dapat dilakukan secara lisan, tertulis, dalam format individual atau kelompok. Responden untuk penilaian segera adalah seluruh peserta layanan, sedangkan untuk responden untuk penilaian jangka pendek dan panjang dapat merupakan wakil daridari  pihak-pihak yang berselilsih atau bertikai.

4.      Analisis Hasil Evaluasi
Analisis hasil evaluasi, pada tahap ini kegiatan yang dilakukan adalah penafsiran hasil evaluasi dalam kaitannya dengan ketuntasan penyelesaian masalah yang dialami oleh pihak-pihak yang telah mengikuti layanan mediasi.

5.      Tindak Lanjut
Pada tahap ini kegiatan yang dilakukan adalah menyelenggarakan layanan mediasi lanjutan  untuk membicarakan hasil evaluasi dan memantapkan upaya perdamaian diantara pihak-pihak yang berselisih atau bertikai.

6.      Laporan
Pada tahap ini kegiatan yang dilakukan adalah:
a.       Membicarakan laporan yang deperlukan oleh pihatk-pihak peserta layanan mediasi
b.      Mendokumentasikan laporan (prayitno, 2004)

H. PENUTUP

Layanan mediasi merupakan layanan konseling yang dilaksanakan konselor terhadap dua pihak (atau lebih) yang sedang dalam keadaan saling tidak menemukan kecocokan. Ketidakcocokan itu menjadikan mereka saling berhadapan, saling bertentangan, saling bermusuhan. Pihak-pihak yang berhadapan itu jauh dari rasa damai, bahkan mungkin berkehendak saling menghancurkan. Keadaan yang demikian itu akan merugikan kedua pihak (atau lebih). Dengan layanan mediasi konselor berusaha mengantarai atau membangun hubungan diantara mereka, sehingga mereka menghentikan dan terhindar dari pertentangan lebih lanjut yang merugikan semua pihak.
Layanan mediasi (MED) pada umumnya bertujuan agar tercapai kondisi hubungan yang positif dan kondusif diantara para klien, yaitu pihak-pihak yang berselisih. Secara Khusus Layanan mediasi bertujuan agar terjadi perubahan atas kondisi awal yang negative (bertikai atau bermusuhan) menjadi kondisi baru (kondusif dan bersahabat)   dalam hubungan antara dua belah pihak yang bermasalah. Terjadinya perubahan kondisi awal yang cenderung negatif kepada kondisi yang lebih positif .
Dalam layanan mediasi terdiri dari tiga komponen yakni konselor, klien dan masalah klien. Dan asas-asa yang terdapat di dalam layanan mediasi ada lima yanki asas kerahasiaan, keterbukaan, kesukarelaan, kekinian, dan kemandirian. Namun ada juga asas lain yang mendukung yakni kegiatan, kedinamisan,keterpaduan, kenormatifan, keahlian alih tangan kasus, dan tut wuri handayani. Dalam layanan mediasi pendekatan yang digunakan yaitu saya OKE, kamu juga OKE, komunikasi secara dewasa, pendekatan Komperhensif, pendekatan realistik, bermoral dan bertanggungjawab. Strategi yang digunakan dalam layanan mediasi yakni Strategi BMB3 dengan teknik umum dan teknik Khusus. Dalam layanan mediasi juga ada kegiatan pendukung yang berkaitan dan operasionalisasi layanannya.

DAFTAR PUSTAKA
Prof, Dr. Prayitno. 2012. Jenis layanan dan kegiatan pendukung konseling. Padang: Foto Coppy.
Dr, Tohirin, M.Pd. 2012.Bimbingan dan konseling.Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Elfi Mu’awana dan Rifa Hidayah.Bimbingan konseling islam disekolah dasar.Jakarta: Sinar grafika offset.

Amti, Erman dan Marjohan. 1992. Bimbingan dan Konseling. Jakarta : Depdikbud.






LAYANAN KONSULTASI BK


Menurut Prayitno (2004:1), ”layanan konsultasi adalah layanan konseling  oleh konselor terhadap pelanggan (konsulti) yang memungkinkan konsulti  memperoleh wawasan, pemahaman dan cara yang perlu dilaksanakan untuk  menangani masalah pihak ketiga”. Konsultasi pada dasarnya dilaksanakan secara perorangan dalam format tatap muka antara konselor (sebagai konsultan) dengan  konsulti. Konsultasi dapat juga dilakukan terhadap dua orang konsulti atau lebih  kalau konsulti-konsulti itu menghendakinya. 
Menurut Badan Standar Nasional Pendidikan (2006:6) dijelaskan bahwa ”layanan konsultasi yaitu layanan yang membantu peserta didik dan atau pihak lain dalam memperoleh wawasan, pemahaman, dan cara-cara yang perlu  dilaksanakan dalam menangani kondisi dan atau masalah peserta didik”.  Dalam program bimbingan di sekolah, Brow dkk (dalam Marsudi, 2003:124) menegaskan bahwa ’konsultasi itu bukan konseling atau psikoterapi sebab konsultasi tidak merupakan layanan yang langsung ditujukan kepada siswa  (klien), tetapi secara tidak langsung melayani siswa melalui bantuan yang  diberikan oleh orang lain’. 
Layanan konsultasi juga didefinisikan bantuan dari konselor ke klien dimana konselor sebagai konsultan dan klien sebagai konsulti, membahas tentang masalah pihak ketiga. Pihak ketiga yang dibicarakan adalah orang yang merasa dipertanggungjawabkan konsulti, misalnya anak, murid atau orangtuanya. Bantuan yang diberikan untuk memandirikan konsulti sehingga ia mampu  menghadapi pihak ketiga yang dipermasalahkannya (Prayitno (2004:2). 
Dari beberapa pengertian, dapat disimpulkan penulis bahwa layanan konsultasi adalah layanan konseling oleh konselor sebagai konsultan kepada  konsulti dengan tujuan memperoleh wawasan, pemahaman, dan cara-cara yang  perlu dilaksanakan konsulti dalam rangka membantu terselesaikannya masalah  yang dialami pihak ketiga (konseli yang bermasalah). Pada layanan konsultasi, dilakukan melalui dua tahap yaitu tahap konsultasi yang dilakukan oleh konselor  kepada konsulti, dan tahap penanganan yang dilakukan oleh konsulti kepada  konseli/pihak ketiga. Maka petugas pada tahap konsultasi adalah konselor,  sedangkan petugas pada tahap penanganan adalah konsulti.

2.  Tujuan Layanan Konsultasi BK 
Pada dasarnya setiap kegiatan tidak akan terlepas dari tujuan yang ingin dicapai. ”Tujuan diberikannya bantuan yaitu supaya orang-perorangan atau kelompok orang yang dilayani menjadi mampu menghadapi semua tugas perkembangan hidupnya secara sadar dan bebas” (Winkel, 2005: 32). Layanan konsultasi merupakan bagian dari layanan Bimbingan dan Konseling, maka tujuan dari layanan ini sepenuhnya akan mendukung dari tercapainya tujuan BK.
Fullmer dan Bernard (dalam Marsudi, 2003: 124-125) merumuskan tujuan layanan konsultasi sebagai bagian tujuan bimbingan di sekolah adalah sebagai berikut: 
1.      Mengambangkan dan menyempurnakan lingkungan belajar bagi  siswa, orang tua, dan administrator sekolah. 
2.      Menyempurnakan komunikasi dengan mengembangkan informasi  di antara orang yang penting. 
3.      Mengajak bersama pribadi yang memiliki peranan dan fungsi  bermacam-macam untuk menyempurnakan lingkungan belajar.
4.      Memperluas layanan dari para ahli. 
5.      Memperluas layanan pendidikan dari guru dan administrator. 
6.      Membantu orang lain bagaimana belajar tentang perilaku. 
7.      Menciptakan suatu lingkungan yang berisi semua komponen  lingkungan belajar yang baik.
8.      Menggerakkan organisasi yang mandiri.  
Tujuan layanan konsultasi sebagaimana dikemukakan oleh Prayitno (2004: 2) adalah: 
1.Tujuan umum 
Layanan konsultasi bertujuan agar konsulti dengan kemampuannya  sendiri dapat menangani kondisi dan atau permasalahan yang  dialami pihak ketiga. Dalam hal ini pihak ketiga mempunyai  hubungan yang cukup berarti dengan konsulti, sehingga permasalahan yang dialami oleh pihak ketiga itu setidaknya  sebahagian menjadi tanggung jawab konsulti. 
2.Tujuan khusus 
Kemampuan sendiri yang dimaksudkan diatas dapat berupa  wawasan, pemahaman dan cara-cara bertindak yang terkait  langsung dengan suasana dan atau permasalahan pihak terkait itu  (fungsi pemahaman). Dengan kemampuan sendiri itu konsulti akan  melakukan sesuatu (sebagai bentuk langsung dari hasil konsultasi)  terhadap pihak ketiga. Dalam kaitan ini, proses konsultasi yang dilakukan konselor di sisi yang pertama, dan proses pemberian  bantuan atau tindakan konsulti terhadap pihak ketiga pada sisi  yang kedua, bermaksud mengentaskan masalah yang dialami pihak  ketiga (fungsi pengentasan). 
Demikian juga Dougherty (dalam Sciarra, 2004:55) mengungkapkan  ’tujuan konsultasi, yaitu : (1) The goal of all consulting is to solve problems (2)  Another goal of consulting is to improve the consultee’s work with the client and,  in turn, improve the welfare of the clien’. Dari ungkapan tersebut dijelaskan  bahwa tujuan konsultasi adalah mengatasi masalah dan konsultasi untuk  meningkatkan kerja konsulti kepada konseli yang pada akhirnya mencapai  kesejahteraan konseli. 

3.  Komponen Layanan Konsultasi BK 
Dari definisi layanan konsultasi, dijelaskan bahwa dalam proses konsultasi akan melibatkan tiga pihak, yaitu konselor, konsulti, dan pihak ketiga/konseli. Hal  ini seperti pendapat Dougherty (dalam Sciarra, 2004: 55) ’consulting is tripartite:  it involves a consultant, a consultee, and a client’ (Berkonsultasi meliputi tiga  pihak yaitu melibatkan seorang konsultan, konsulti, dan konseli). Ketiga pihak ini  disebut sebagai komponen layanan konsultasi. Ketiga komponen layanan  konsultasi tersebut menjadi syarat untuk menyelenggarakan kegiatan layanan. 
Dijelaskan oleh Prayitno (2004:3-4), bahwa:  Konselor adalah tenaga ahli konseling yang memiliki kewenangan  melakukan pelayanan konseling pada bidang tugas pekerjaannya.  Sesuai dengan keahliannya, konselor melakukan berbagai jenis layanan konseling, salah satu diantaranya adalah layanan konsultasi;  Konsulti adalah individu yang meminta bantuan kepada konselor agar dirinya mampu menangani kondisi dan atau permasalahan pihak ketiga  yang (setidak-tidaknya sebahagian) menjadi tanggung jawabnya.  Bantuan itu diminta dari konselor karena konsulti belum mampu  menangani situasi dan atau permasalahan pihak ketiga itu; Pihak ketiga adalah individu (atau individu-individu) yang kondisi dan atau permasalahannya dipersoalkan oleh konsulti. Menurut konsulti,  kondisi/ permasalahan pihak ketiga itu perlu diatasi, dan konsulti  merasa       (setidak-tidaknya        ikut)     bertanggung jawab     atas  pengentasannya. 
Marsudi (2003: 124-125) menyebutkan bahwa layanan konsultasi mengandung beberapa aspek, yaitu: 
a.       Konsultan, yaitu seseorang yang secara profesional mempunyai  kewenangan untuk memberikan bantuan kepada konsulti dalam  upaya mengatasi masalah klien. 
b.      Konsulti, yaitu pribadi atau seorang profesional yang secara  langsung memberikan bantuan pemecahan masalah terhadap klien. 
c.       Klien, yaitu pribadi atau organisasi tertentu yang mempunyai  masalah. 
d.      Konsultasi merupakan proses pemberian bantuan dalam upaya mengatasi masalah klien secara tidak langsung. 
Dalam layanan konsultasi ini dapat diperjelas bahwa penanganan masalah yang dialami konseli (pihak ketiga) dilakukan oleh konsulti. Konsulti akan dikembangkan kemampuannya oleh konselor pada saat tahap konsultasi  berlangsung, yaitu mengembangkan pada diri konsulti tentang wawasan,  pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap. Akhir proses konsultasi ini adalah  konselor menganggap bahwa konsulti mampu membantu menangani kondisi atau permasalahan pihak ketiga yang setidaknya menjadi tanggung jawabnya.  Konsulti adalah orang yang ikut bertanggung jawab terhadap masalah yang  dialami pihak ketiga. Misalnya orang tua, guru, kepala sekolah, kakak, dan  sebagainya. Seorang konsulti harus bersedia membantu penyelesaian masalah  pihak ketiga. Menurut Sciarra (2004: 55) “also, collaboration between consultant  and consultee is especially important in the school setting because it eases the  burden on the consultant” (kerjasama antara konsultan dan konsulti menjadi yang   terpenting di sekolah sebab dapat meringankan beban konsultan). 
4. Asas Layanan Konsultasi BK 
Munro, dkk (dalam Prayitno, 2004: 5) menyebutkan ’ada tiga etika dasar konseling yaitu kerahasiaan, kesukarelaan, dan keputusan diambil oleh klien  sendiri (kemandirian)’. Etika dasar ini terkait langsung dengan asas konseling.  Asas ini juga berlaku pada layanan konsultasi. Ketiga asas ini diuraikan sebagai  berikut: 
a.       Asas Kerahasiaan (confidential); yaitu asas  yang menuntut dirahasiakannya segenap data dan keterangan peserta didik  (klien) yang menjadi sasaran layanan, yaitu data atau keterangan yang tidak boleh dan tidak layak diketahui orang lain. Dalam hal ini, guru pembimbing  (konselor) berkewajiban memelihara dan menjaga semua data dan keterangan itu sehingga kerahasiaanya benar-benar terjamin,
b.      Asas Kesukarelaan; yaitu asas yang menghendaki adanya kesukaan dan kerelaan peserta didik (klien) mengikuti/ menjalani layanan/kegiatan yang diperuntukkan baginya. Guru Pembimbing (konselor) berkewajiban membina dan mengembangkan kesukarelaan seperti itu.
c.       Asas Keterbukaan; yaitu asas yang menghendaki agar peserta didik (klien)  yang menjadi sasaran layanan/kegiatan bersikap terbuka dan tidak berpura-pura, baik dalam memberikan keterangan tentang dirinya sendiri maupun dalam menerima berbagai informasi dan materi dari luar yang berguna bagi pengembangan dirinya. Guru pembimbing (konselor) berkewajiban mengembangkan keterbukaan peserta didik (klien). Agar peserta didik (klien) mau terbuka, guru  pembimbing (konselor) terlebih dahulu bersikap terbuka dan tidak berpura-pura. Asas keterbukaan ini bertalian erat dengan asas kerahasiaan dan  dan kekarelaan.
d.      Asas Kegiatan; yaitu asas yang menghendaki agar peserta didik (klien) yang menjadi sasaran layanan dapat berpartisipasi aktif di dalam penyelenggaraan/kegiatan bimbingan. Guru Pembimbing (konselor) perlu mendorong dan memotivasi peserta didik untuk dapat aktif dalam setiap layanan/kegiatan  yang diberikan kepadanya.
e.       Asas Kemandirian; yaitu asas yang menunjukkan pada tujuan umum bimbingan dan konseling; yaitu peserta didik (klien) sebagai sasaran layanan/kegiatan  bimbingan dan konseling diharapkan menjadi individu-individu yang mandiri, dengan ciri-ciri mengenal diri sendiri dan lingkungannya, mampu mengambil keputusan, mengarahkan, serta mewujudkan diri sendiri. Guru Pembimbing (konselor)  hendaknya mampu mengarahkan segenap layanan bimbingan dan konseling bagi berkembangnya kemandirian peserta didik.
f.       Asas Kekinian; yaitu asas yang menghendaki agar obyek sasaran layanan bimbingan dan konseling  yakni permasalahan yang dihadapi peserta didik/klien dalam kondisi sekarang. Kondisi masa lampau dan masa depan dilihat sebagai dampak dan memiliki keterkaitan dengan apa yang ada dan diperbuat peserta didik (klien)  pada saat sekarang.
g.      Asas Kedinamisan; yaitu asas yang menghendaki agar isi layanan terhadap sasaran layanan (peserta didik/klien) hendaknya selalu bergerak maju, tidak monoton, dan terus berkembang serta berkelanjutan sesuai dengan kebutuhan dan tahap perkembangannya dari waktu ke waktu.
h.      Asas Keterpaduan; yaitu asas yang menghendaki agar berbagai layanan dan kegiatan bimbingan dan konseling, baik yang dilakukan oleh guru pembimbing maupun pihak lain, saling menunjang, harmonis dan terpadukan. Dalam hal ini, kerja sama dan koordinasi  dengan berbagai pihak yang terkait dengan bimbingan dan konseling menjadi amat penting dan harus dilaksanakan sebaik-baiknya.
i.        Asas Kenormatifan; yaitu asas yang menghendaki agar segenap layanan dan kegiatan bimbingan dan konseling didasarkan pada norma-norma, baik norma agama, hukum, peraturan, adat istiadat, ilmu pengetahuan,  dan kebiasaan – kebiasaan yang berlaku. Bahkan lebih jauh lagi, melalui segenap layanan/kegiatan  bimbingan dan konseling ini harus dapat meningkatkan kemampuan peserta didik (klien) dalam memahami, menghayati dan mengamalkan norma-norma tersebut.
j.        Asas Keahlian; yaitu asas yang menghendaki agar layanan dan kegiatan bimbingan dan konseling diselnggarakan atas dasar kaidah-kaidah profesional.  Dalam hal ini, para pelaksana layanan dan kegiatan bimbingan dan konseling lainnya hendaknya tenaga yang benar-benar ahli dalam bimbingan dan konseling. Profesionalitas guru pembimbing (konselor) harus terwujud baik dalam penyelenggaraaan jenis-jenis layanan dan kegiatan bimbingan dan konseling dan   dalam penegakan kode etik bimbingan dan konseling.
k.      Asas Alih Tangan Kasus; yaitu asas yang menghendaki agar pihak-pihak yang tidak mampu menyelenggarakan layanan bimbingan dan konseling secara tepat dan tuntas atas suatu permasalahan peserta didik (klien) kiranya dapat mengalih-tangankan kepada pihak yang lebih ahli. Guru pembimbing (konselor)dapat menerima alih tangan  kasus dari orang tua, guru-guru lain, atau ahli lain. Demikian pula, sebaliknya guru pembimbing (konselor),  dapat mengalih-tangankan kasus kepada pihak yang lebih kompeten, baik yang berada di dalam lembaga sekolah maupun di luar sekolah.
l.        Asas Tut Wuri Handayani; yaitu asas yang menghendaki agar pelayanan bimbingan dan konseling secara keseluruhan dapat menciptakan suasana mengayomi (memberikan rasa aman), mengembangkan keteladanan, dan memberikan rangsangan dan dorongan, serta kesempatan yang seluas-luasnya  kepada peserta didik (klien) untuk maju (Prayitno, 2004: 8-9).  

5. Operasionalisasi Layanan Konsultasi BK 
Layanan konsultasi merupakan suatu proses, sehingga dalam pelaksanaannya menempuh tahap-tahap tertentu. Tahap-tahap pelaksanaan  konsultasi hendaklah dilaksanakan secara tertib dan lengkap, dari perencanaan  sampai dengan penilaian dan tindak lanjutnya. Hal ini semua untuk menjamin  kesuksesan layanan secara optimal. Langkah-langkah tersebut menurut Prayitno  (2004: 30-31) adalah sebagai berikut: 
a.   Perencanaan 
1.            Mengidentifikasi konsulti
2.            Mengatur pertemuan 
3.            Menetapkan fasilitas layanan
4.            Menyiapkan kelengkapan administrasi 
b. Pelaksanaan 
1.      Menerima konsulti
2.      Menyelenggarakan penstrukturan konsultasi 
3.      Membahas masalah yang dibawa konsulti berkenaan  dengan pihak ketiga
4.      Mendorong dan melatih konsulti untuk : mampu menangani masalah yang dialami pihak ketiga dan  memanfaatkan sumber-sumber yang ada.
5.      Membina komitmen konsulti untuk menangani masalah  pihak ketiga dengan bahasa dan cara-cara konseling Melakukan penilaian segera. 
c. Evaluasi 
Melakukan evaluasi jangka pendek tentang keterlaksanaan  hasil konsultasi.
d. Analisis Hasil Evaluasi 
Menafsirkan hasil evaluasi dalam kaitannya dengan diri  pihak ketiga dan konsultasi sendiri. 
e. Tindak Lanjut  
Konsultasi lanjutan dengan konsulti untuk membicarakan hasil evaluasi serta menentukan arah dan kegiatan lebih  lanjut.
Langkah-langkah layanan konsultasi dijelaskan sebagai berikut: 
1) .  Perencanaan 
   Langkah awal sebelum pelaksanaan layanan, terlebih dahulu konselor  melakukan perencanaan. Perencanaan dimaksudkan untuk mempermudah proses  pelaksanaan. Perencanaan layanan konsultasi meliputi: 
a)            Mengidentifikasi konsulti Layanan konsultasi melibatkan pihak yang memiliki keterkaitan dengan  permasalahan yang dialami pihak ketiga/ konseli. Pihak terkait inilah yang disebut  konsulti. Pada pelayanan Bimbingan dan Konseling khususnya di sekolah, pihak  yang disebut sebagai konsulti adalah sesama konselor, guru bidang studi atau wali  kelas, pejabat struktural, orang tua atau saudara dari siswa, dan petugas  administrator.
Dalam mengidentifikasi konsulti, tindakan dari seorang konselor adalah mengenal konsulti dengan maksud memperoleh data yang dibutuhkan konselor. Identifikasi dapat dilakukan dengan wawancara dan rapport. ”Rapport adalah suatu hubungan (relationship) yang ditandai dengan keharmonisan, kesesuaian, kecocokan, dan saling tarik menarik” (Willis, 2004: 46). Untuk menciptakan rapport, konselor harus memiliki sikap empati, mampu membaca perilaku nonverbal, bersikap akrab dan berniat memberikan bantuan tanpa pamrih.
b)            Mengatur pertemuan
      Mengatur pertemuan atau melakukan kontrak yang artinya perjanjian antara konselor dengan konsulti. Sebagaimana dalam pelaksanaan konseling perorangan,  terjadi kesepakatan kontrak waktu dan tempat pelaksanaan layanan konsultasi.  Penyelenggaraan layanan konsultasi sangat tergantung pada kesepakatan antara  konselor dan konsulti. Kesepakatan tersebut dimaksudkan untuk kenyamanan dan  jaminan kerahasiaan proses konsultasi.
c)            Menetapkan fasilitas layanan Fasilitas dalam layanan konsultasi adalah segala sesuatu yang menunjang pelaksanaan layanan konsultasi. Fasilitas yang ditetapkan tersebut misalnya  tempat konsultasi yang menimbulkan perasaan nyaman, buku agenda konselor  yang berisi janji pertemuan dengan konsulti, alat perekam yang tidak diketahui  oleh konsulti.
d)           Menyiapkan kelengkapan administrasi 
         Sebelum konselor dan konsulti melakukan layanan konsultasi, maka perlu adanya kesiapan kelengkapan administrasi layanan. Adanya pengadministrasian  dimaksudkan agar terdapat bukti adanya pelaksanaan layanan konsultasi.  Misalnya konselor menyiapkan buku catatan hasil wawancara dengan konsulti,  terdapat jurnal harian pelaksanaan layanan. 
2). Pelaksanaan 
Pelaksanaan merupakan bagian inti dari layanan konsultasi. ”Pada tahap pelaksanaan, pernyataan masalah diungkapkan, hubungan konsultan dan  peranannya dirumuskan dan peraturan pokok dikembangkan” (Marsudi, 2003:  125). Pada layanan konsultasi, proses layanan dilakukan dua tahap. Yaitu pertama  proses konsultasi antara konselor dan konsulti, dan yang kedua proses penanganan  oleh konsulti terhadap pihak ketiga yang memiliki masalah. Secara jelas tahap ini meliputi:
a)      Menerima konsulti 
Penerimaan konsulti oleh konselor sangat mempengaruhi perkembangan proses layanan konsultasi selanjutnya. Hal ini dikarenakan alasan bahwa dengan penerimaan yang baik oleh konselor, maka akan membuat kenyamanan konsulti  dan pada akhirnya membantu kelancaran layanan konsultasi. Menurut Winkel  (2005: 473) menyebutkan bahwa ”bila bertemu dengan konseli untuk pertama  kali: menyambut kedatangan konseli dengan sikap ramah, misalnya berjabatan  tangan, mempersilakan duduk, dan menyisihkan berkas-berkas yang ada di atas  meja kerjanya”. Demikian halnya yang dilakukan oleh konselor terhadap konsulti bahwa konselor bersikap menerima konsulti baik secara verbal maupun non  verbal. Semua hal itu dilakukan dengan tujuan berpengaruh terhadap keberhasilan  layanan.
Menerima konseli secara verbal merupakan tanggapan verbal konselor yang diwujudkan dalam bentuk pernyataan atau ungkapan verbal secara sopan dan  santun. Misalnya menerima konsulti dengan ucapan selamat siang pada awal  konsultasi, menggunakan pertanyaan yang tidak menyinggung perasaan, tidak  berlebih dalam berbicara, dan sebagainya. Penerimaan non verbal merupakan  reaksi atau tanggapan yang dibedakan dari berbahasa dengan memakai kata-kata,  misalnya eksprasi wajah, sikap tubuh, anggukan kepala, dan sebagainya.
b)      Menyelenggarakan penstrukturan konsultasi 
Penstrukturan layanan konsultasi diperlukan untuk membawa konsulti mulai memasuki layanan konsultasi. Bagi konsulti yang baru pertama kali melakukan layanan konsultasi, maka diperlukan penstrukturan secara keseluruhan. Untuk memulai proses konultasi, terlebih dahulu diawali dengan wawancara permulaan. 
Menurut Tyler (dalam Gunarsa, 2007: 93) mengemukakan bahwa:  Dari sudut konselor ada tiga tujuan pada wawancara permulaan dalam  kaitan dengan proses konseling ialah: (1) menimbulkan suasana bahwa  proses konseling dimulai, (2) membuka aspek-aspek psikis pada diri  klien seperti kehidupan perasaan dan sikapnya, (3) menjelaskan  struktur mengenai proses bantuan yang akan diberikan. 
Terdapat tiga teknik dasar strukturing atau pembatasan diantaranya pembatasan pada lama pertemuan, pembatasan masalah yang dibahas, dan pembatasan pada peran masing-masing konselor atau konsulti. Pada layanan konsultasi, terdapat penyelenggaraan penstukturan konsultasi yang harus dipahami oleh konselor dan konsulti. Penstrukturan ini diperlukan dengan tujuan  agar terjadi kejelasan arah konsultasi yaitu dengan adanya pemahaman tentang  pembatasan waktu konsultasi, pembatasan masalah apa yang dibahas, dan peranan  keduanya akan membantu melancarkan kesuksesan layanan konsultasi.  
c)      Membahas masalah yang dibawa konsulti
berkenaan dengan pihak ketiga ”Seperti untuk layanan konseling perorangan, materi yang dibahas dalam  layanan konsultasi tidak dapat ditetapkan terlebih dahulu oleh konselor,  melainkan akan dikemukakan oleh konsulti ketika layanan berlangsung” (BSNP,  2006: 24). Masalah yang dibahas oleh konsulti adalah masalah yang dialami oleh  pihak ketiga, baik itu permasalahan pribadi, sosial, belajar atau karir.
d)     Mendorong dan melatih konsulti untuk : 
d).(1) Mampu menangani masalah yang dialami pihak ketiga Tugas konselor sebagai konsultan adalah membekali konsulti memperoleh konsulti (wawasan, pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap) agar  dapat bertindak membantu penyelesaian masalah pihak ketiga. Konsulti diuraikan sebagai berikut: 
(a) Wawasan.  
Meliputi wawasan konsulti tentang diri pihak ketiga, permasalahan pihak ketiga, dan lingkungan pihak ketiga. Wawasan yang dipahami oleh  konsulti terhadap pihak ketiga, sejalan dengan fungsi pemahaman  Bimbingan dan Konseling. Seperti yang diungkapkan oleh Mugiarso (2004:  28) bahwa ”pemahaman yang sangat perlu dihasilkan oleh pelayanan  bimbingan dan konseling adalah pemahaman tentang diri klien beserta  permasalahannya oleh klien sendiri dan oleh pihak-pihak lain yang  membantu klien, termasuk juga pemahaman tentang lingkungan diri klien”. 
(b) Pengetahuan.  
Yaitu konsulti perlu memiliki pengetahuan tentang diri pihak ketiga, permasalahan pihak ketiga, ataupun lingkungan pihak ketiga yang pembahasannya dikaitkan dengan kaidah pendidikan, psikologi, sosial,  ekonomi, budaya, dll.  
(c) Keterampilan.  
Konsulti perlu menguasai berbagai keterampilan yang disesuaikan dengan permasalahan yang dialami pihak ketiga. Menurut Prayitno (2004:  19) bahwa ”Keterampilan yang perlu dikuasai konsulti dan diterapkan  terhadap pihak ketiga adalah aplikasi alat-alat pendidikan, tiga-m,  pertanyaan terbuka, dorongan minimal, refleksi, serta teknik khusus  pengubahan tingkah laku, seperti pemberian informasi dan contoh, latihan  sederhana, dan pemberian nasihat secara tepat”. 
(d).  Nilai.  
Konsultan perlu mengembangkan nilai-nilai pada diri konsulti dengan tujuan agar konsulti juga dapat memandang pihak ketiga berdasarkan nilai-nilai di kehidupan masyarakat. Misalnya nilai kemanusiaan, nilai sosial,  nilai moral, dan lain sebagainya. 
(e) Sikap. 
Sikap merupakan suatu respon yang dihasilkan dari stimulus. Seorang  konsulti pada layanan konsultasi perlu mengembangkan sikap positif dan dinamis (developmental) terhadap diri pihak ketiga dan permasalahan yang  dialami oleh pihak ketiga itu. Dengan adanya nilai dan sikap tersebut,  diharapkan hubungan konsulti dan pihak ketiga semakin kondusif.  
d) (2) Memanfaatkan sumber-sumber yang ada Konsulti dalam membantu penyelesaian masalah pihak ketiga dapat memanfaatkan berbagai sumber bantuan. Pengumpulan informasi-informasi  mengenai pihak ketiga dapat diperoleh dari pihak ketiga itu sendiri ataupun lingkungan dekat pihak ketiga, misalnya keluarga, teman bermain, lingkungan  sekolah, lingkungan masyarakat, bahkan diperoleh dari media cetak atau  elektronik. Pemberian informasi dari pihak yang terkait dengan pihak ketiga  tersebut dikumpulkan dengan alasan untuk membantu menjelaskan masalah dan  juga membantu tercapainya penyelesaian masalah pihak ketiga.  
e)      Membina komitmen konsulti untuk menangani masalah pihak ketiga dengan bahasa dan cara-cara konseling Pada proses konsultasi, konselor mengembangkan WPKNS (wawasan,  pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap) konsulti terkait dengan penyelesaian  masalah pihak ketiga. Tugas konselor selanjutnya adalah melakukan persetujuan  dengan konsulti agar konsulti bersedia membantu penyelesaian masalah pihak  ketiga. Langkah penyelesaian masalah pihak ketiga dilakukan oleh konsulti  dengan menggunakan bahasa dan cara-cara konseling yang telah diperoleh  konsulti dari pengembangan. Dapat dikatakan bahwa konsulti  bukanlah menjadi seorang konselor. Hal yang dimaksudkan konsulti dapat  menggunakan bahasa dan cara-cara konseling, misalnya konsulti dapat  menggunakan pertanyaan terbuka kepada pihak ketiga, konsulti melakukan  penerimaan pihak ketiga  dengan bahasa verbal dan non verbal, dalam hal  mengambil keputusan, dan lain-lain. 
Penanganan pihak ketiga oleh konsulti tidak terlepas dari pantauan dari konselor. Pada tahap ini bisa terjadi kemungkinan alternatif pemecahan masalah  pihak ketiga gagal dilakukan oleh konsulti, sehingga perlu dilakukan kembali atau  dengan intervensi yang berbeda. Penghentian layanan konsultasi tidak berbeda  dengan layanan konseling perorangan. ”Menghentikan konseling (terminasi) bisa  dilakukan untuk sementara dan selama itu konseli masih bisa berhubungan  kembali kalau dibutuhkan atau dihentikan sama sekali karena tujuan konseling  sudah tercapai” (Gunarsa, 2007: 99

f)        Melakukan penilaian segera 
Akhir setiap kegiatan layanan terdapat adanya suatu penilaian layanan. 
Penilaian dilakukan untuk mengetahui seberapa besar keberhasilan yang telah   dicapai dari proses pelaksanaan layanan. Terhadap hasil layanan konsultasi perlu  dilaksanakan tiga jenis penilaian, yaitu penilaian segera(laiseg), penilaian jangka  pendek (laijapen), dan penilaian jangka panjang(laijapang).  
Penilaian segera dari layanan konsultasi dilaksanakan pada akhir setiap konsultasi yang dilakukan oleh konselor dan konsulti. Fokus penilaian segera layanan konsultasi adalah menilai diri konsulti berkenaan dengan ranah Understanding, Comfort, dan Action (UCA). Ketiganya dijelaskan sebagai berikut: 
(1) Understanding – U 
Tahap pertama pada layanan konsultasi adalah proses konsultasi antara konselor/konsultan dengan konsulti. Hasil dari tahap ini salah satunya adalah adanya pemahaman baru yang diperoleh konsulti. Pemahaman konsulti meliputi  pemahaman tentang WPKNS nya, pemahaman permasalahan pihak ketiga yang  dibahas, penyebab munculnya permasalahan, sampai pada pemahaman konsulti  tentang langkah penanganan yang telah diajarkan konselor. 
(2) Comfort – C 
Selain menilai pemahaman konsulti pada proses konsultasi, konselor juga menilai perasaan yang berkembang pada diri konsulti. Pada penilaian segera ini,  konselor menanyakan apakah konsulti merasa terbebani atau ketidaknyamanan  terhadap konsultasi yang dilakukan atau terjadi sebaliknya.  
(3) Action – A 
Setelah menilai tentang pemahaman dan perasaan konsulti, menilai kegiatan apa yang akan dilaksanakan konsulti setelah proses konsultasi selesai perlu  dilakukan oleh konselor. Penilaian segera tentang action dilakukan dengan cara  menanyakan kepada konsulti tentang rencana kegiatan apa yang akan  dilaksanakan pasca konsultasi dalam rangka mewujudkan upaya pengentasan  masalah yang dialami pihak ketiga. 
3).  Evaluasi 
Evaluasi yang dilakukan pada layanan konsultasi adalah melakukan evaluasi jangka pendek tentang keterlaksanaan hasil konsultasi. Penilaian jangka pendek dilakukan setelah konsulti memberikan penanganan kepada pihak ketiga (tahap penanganan). Penilaian jangka pendek mengacu pada bagaimana konsulti  melakukan unsur kegiatan atau action dari hasil proses konsultasi. Sasaran  laijapen ini adalah respon atau dampak awal pihak ketiga terhadap tindakan  penanganan yang dilakukan oleh konsulti. Dengan demikian konsulti juga terlebih  dahulu telah dilatih oleh konselor agar dapat melakukan penilaian segera kepada  pihak ketiga.  
Pada penilaian jangka panjang yang menjadi fokusnya adalah terjadi perubahan pada diri pihak ketiga. Perubahan yang dimaksudkan adalah  yang berkaitan dengan permasalahan yang sejak awal dikonsultasikan. Untuk  melihat ada tidaknya perubahan pada diri pihak ketiga, maka konsulti juga  dibekali konsultan agar dapat melakukan penilaian kepada pihak ketiga.  
4.  Analisis Hasil Evaluasi 
Analisis hasil evaluasi yaitu menafsirkan hasil evaluasi dalam kaitannya dengan diri pihak ketiga dan konsulti sendiri. Tujuan utama dari analisis hasil  evaluasi layanan konsultasi adalh untuk mempertimbangkan upaya tindak lanjut  yang akan dilakukan sesuai dengan penanganan masalah pihak ketiga. Hubungan  konsulti dengan konsultan tidak kontinu, tetapi efek dari proses diharapkan  kontinu. ”Putusan dibuat untuk menunda aktivitas, mendesain kembali dan  melaksanakan ulang atau berhenti secara penuh” (Marsudi, 2003: 126).  
5. Tindak Lanjut  
Hasil penilaian digunakan sebagai pertimbangan tindak lanjut yang dapat dilakukan dengan konsultasi lanjutan, penghentian atau alih tangan (refferal).  Konsultasi lanjutan dilakukan berdasarkan kesepakatan kembali antara konsulti dan konsultan. Konsultasi ini diperlukan jika tahap penanganan dikatakan belum  berhasil. Tingkah laku pihak ketiga yang diharapkan oleh konsulti belum tercapai  dan konsulti merasa perlu untuk mengulang kembali penanganan kepada pihak  ketiga yang bermasalah.  

Penghentian layanan konsultasi tidak berbeda dengan layanan konseling perorangan. ”Menghentikan konseling (terminasi) bisa dilakukan untuk sementara  dan selama itu klien masih bisa berhubungan kembali kalau dibutuhkan atau  dihentikan sama sekali karena tujuan konseling sudah tercapai” (Gunarsa, 2007:  99). Jika diperlukan, alih tangan ataurefferal juga merupakan bentuk tindak lanjut  yang dapat dilakukan.

3 komentar: